Potongan-potongan kenangan bermain di kepala. Ah, indahnya kebersamaan itu dahulu. Aku merasa tersanjung karena ada seorang pria tampan yang menyayangi. Tapi logika kemudian menyerang di kepala. Dia toh tiba-tiba menikah dengan perempuan itu tanpa memberitahu.
Teringat betapa sakitnya hatiku saat itu. Seperti dihujam tombak menembus dadaku. Beribu-ribu tanda tanya menyesakkan pikiranku. Dia tidak pernah memberikan penjelasan.Â
"Maaf kakanda, aku tidak bisa. Aku senang hidup sendiri".
"Tapi kita bisa hidup bahagia bersama. Aku masih menyayangimu seperti dulu".
"Kau sungguh lelaki egois. Sudah hidup sempurna dengan istri dan anak, sekarang ingin pula mendapatkan keinginan di masa tua. Sedangkan aku sejak dahulu ditinggalkan. Kakanda tidak pernah ada ketika aku susah dan menderita. Sekarang tiba-tiba datang memaksa. Tidak, aku tidak Sudi!"
Wajah lelaki itu memucat. "Adinda, aku sangat menyesal. Aku ingin menebus semua kesalahanku di masa lalu. Aku ingin membuatmu bahagia ".
"Maaf, aku tidak percaya. Kakanda hanya ingin kebahagiaan diri sendiri ".
"Adinda...,"
"Cukup, kakanda. Aku cuma ingin hidup tenang. Dan di negeri ini aku mendapatkan hal itu. Jangan kau rusak dengan keegoisanmu," aku berkata keras.
Mata lelaki itu berkaca-kaca. Ah, tidak. Aku harus menguatkan diri untuk menolaknya. Aku tidak ingin terjerumus cinta yang sama. Bibir Raymond bergetar, ingin mengucapkan sesuatu. Namun Sinta telah kembali dari tempat pemesanan.Â
Gadis itu merasakan suasana yang kaku dan dingin. Ia melihat aku dan kemudian menatap ayahnya, berganti-ganti.Â