"Aku sama daddy," sahutnya tenang. "Tadi daddy yang melihat Tante. Tuh dia sedang berdiri di pojok, melihat ke arah sini".Â
Dadaku berdebar kencang,"Sama Mommy juga?"
Gadis itu menatap sendu,"Mommy sudah meninggal dunia karena sakit kanker, Tante".
Bagai tersambar petir aku mendengarnya. "Innalilahi wa innailaihi Raji'un".
Belum sempat aku berpikir, Sinta serta merta membantu melipat peralatan salat. Aku tertegun-tegun, tak tahu harus berkata apa lagi.Â
"Yuk, Tante ikut kami. Daddy mau ketemu Tante. Ada yang mau dibicarakan".
Aku tercenung. Tapi tangan gadis itu sudah menarik lenganku. Seperti kerbau dicocok hidung, aku mengikuti langkahnya.Â
Sosok lelaki itu masih tampak gagah, meski rambutnya mulai menipis. Duh, kenapa jantungku seperti melompat-lompat. Aku berusaha menanamkan dalam pikiran, bahwa dia adalah masa lalu.Â
"Hai adinda," sapa dia lembut sambil mengulurkan tangan. Dia masih menyebutku seperti itu.Â
Kami bertatapan sejenak. Apakah aku tidak salah lihat? Tatapan itu masih sama dengan tatapan puluhan tahun yang lalu sewaktu kami masih bersama. Sebelum dia memutuskan menikah dengan perempuan lain. Atau itu hanya perasaanku saja.
"Alhamdulillah baik, kakanda. Sengaja liburan di sini?"