Tanggal 22 Oktober yang lalu, saya bersama teman-teman yang tergabung dalam komunitas Koteka mengikuti trip keliling kota Bogor. Trip ini hasil kerjasama Koteka dengan Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Bogor.Â
Tempat berkumpul di stasiun Bogor sebelah timur, sisi yang berdampingan dengan alun-alun kota Bogor. Pukul delapan pagi, saya sudah tiba di sana. Maklum jarak ke Bogor dari Citayam lumayan dekat.Â
Tak berapa lama berdatangan peserta trip satu persatu. Kamipun mendapat Snack dari UMKM kuliner seperti minuman pala dan wingko rasa pala produk @giftbycasandra, Strudel legendaris produk @jumpabogor. Sarapan yang cukup untuk mengisi tenaga agar kuat menghadapi kenyataan, eh menjalani trip seharian.Â
Agenda pertama, mengelilingi alun-alun kota Bogor. Kebetulan sedang ada Festival bunga dan buah Nusantara. Di sini ada berbagai macam produk UMKM yang bergerak di bidang itu.Â
Uncal adalah bis wisata gratis yang dikelola oleh Pemkot Bogor. Biasanya beroperasi pada akhir Minggu untuk masyarakat umum yang ingin menikmati kota Bogor. Uncal tersedia di halaman balaikota Bogor.
Namun kali ini sebuah Uncal disediakan untuk peserta trip Koteka. Memang kursi yang ada sangat terbatas, sehingga beberapa teman harus berdiri. Kursi itu juga keras dan sempitnya sehingga tubuh menjadi sakit. Mungkin Pemkot Bogor bisa mempertimbangkan agar kursinya lebih baik.Â
Kampung Batik Cibuluh
Mungkin saya yang kurang informasi, saya baru tahu kalau ada kampung pengrajin kain batik di Bogor. Namanya kampung Cibuluh, tidak jauh dari pusat kota. Inilah tujuan desa wisata pertama yang kami kunjungi.
Kampung batik Cibuluh merupakan perkampungan yang cukup padat. Hanya beberapa rumah yang memiliki halaman luas. Kami memasuki gang-gang kecil dengan arahan seorang pemandu wisata lokal.Â
Satu hal yang mengesankan saya, tembok rumah banyak yang dicat dengan pola batik. Gang-gang tersebut menjadi ceria dan menarik. Ternyata mereka juga membuat dua macam batik, batik tulis dan batik capÂ
Ada sekitar 40 pengrajin batin, dan lima galeri yang menampilkan produk mereka. Kami juga menyaksikan peragaan membatik dari beberapa ibu-ibu. Bau wangi lilin "malam" menyeruak memenuhi ruangan.
Tidak semua berupa kain lho, sebagian sudah berbentuk pakaian untuk orang dewasa dan anak-anak. Ada jaket, gamis, outer, blouse dan sebagainya. Kalau berminat, bisa membelinya langsung.Â
Kampung Pulo Geulis
Setelah selesai menjelajahi kampung batik, perjalanan dilanjutkan ke  kampung Pulo Geulis. Kampung ini terselip di tengah kota, tepatnya di tengah sungai Ciliwung.Â
Keunikan dari kampung ini, ternyata berada di sebuah pulau berbentuk perahu di tengah sungai Ciliwung . Pulau ini ditemukan oleh seorang Belanda bernama Abraham pada tahun 1703. Asal nama geulis karena ada gadis Belanda yang cantik tinggal di sana.
Namun yang menarik perhatian saya adalah sebuah kelenteng di tengah kampung. Ukurannya tidak besar tetapi terdapat beberapa patung dewa di sana. Kami di sana disambut barongsai yang bisa bergerak lincah di tempat yang sempit.Â
Kelebihan lain, ada batu prasasti peninggalan kerajaan Pajajaran di dalam kelenteng. Satu prasasti di dalam mushola yang disediakan untuk kaum muslim yang berkunjung, dan satu lagi dalam ruangan yang sama dengan dewa-dewa.Â
Kami mendengarkan sejarah kampung tersebut dari penjaga kelenteng. Eh, ada seorang wanita yang merupakan keturunan dari Abraham.Â
Kampung Labirin
Kampung ini ada di sebelah kampung Pulo Geulis dengan gang-gang yang lebih sempit. Banyak renovasi dan perbaikan yang sedang berlangsung di sana sehingga kami harus berjalan memutar.
Di kampung ini terdapat beberapa UMKM seperti pedagang makanan. Bahkan ada yang menjadi penghasil kerupuk jengkol. Mereka yang mengerjakan rata-rata adalah wanita.Â
Meski lahan terbatas, anak-anak di sana diajarkan kesenian juga. Ada yang senang bermain angklung dan ada yang pandai menari.Â
Uniknya, ada satu gang menuju sungai Ciliwung. Kita bisa bermain air dan berperahu di sini. Bahkan kita juga bisa melakukan arung jeram atau rafting.Â
Kampung Mulyaharja
Saya takjub ketika mengetahui bahwa kota Bogor masih memiliki sawah, luasnya lumayan 24 hektar. Letaknya tak jauh dari pusat kota Bogor, tepatnya di belakang perumahan elit Bogor Nirwana Residence.Â
Uncal tidak mengantar kami ke sana, melainkan berhenti di perempatan. Lalu kami lanjut naik angkot yang sudah disewa. Soalnya, Bogor juga mendapat julukan kota angkot. Jadi tidak afdol kalau belum naik angkot.
Angkot berjalan ajut-ajutan, mungkin karena jalan yang bergelombang dan naik turun. Ditambah lagi mesin yang terasa sudah soak. Kami justru menikmati seperti anak-anak yang baru pertama naik roller coaster.Â
Tak berapa lama tiba di sebuah gang yang tidak begitu besar. Dari depan tidak tampak sawah sama sekali. Kami melewati tulisan mencolok di dinding, Agro Eduwisata Organik Mulyaharja dan berfoto sejenak. Kemudian menemukan kandang kambing dan ayam.
Setelah itu terhampar pemandangan sawah yang luas. Sebuah titian jalan yang terbuat dari deretan papan kayu membelah tengah sawah. Kami lalu berjalan menuju ke dua saung bambu besar di tengah-tengah.Â
Di sana telah menunggu ketua Koteka, Ony Jamhari yang rumahnya juga dekat dari tempat tersebut. Dan yang paling menggembirakan, ada nasi dan lauk pauk yang menggugah selera. Apalagi kami sudah kelaparan, berkeliling di beberapa desa.Â
Tanpa banyak cincong, kami segera menyantap apa yang dihidangkan. Menu yang menarik perhatian saya bukan ayam dan ikan goreng, tetapi tumis jantung pisang dan daun pepaya teri. Ini membuat makan terasa sangat nikmat.Â
Kemudian mas Ony memberikan kuis berhadiah. Kuis yang membuat mata melek lagi dari mengantuk karena kekenyangan dan dibelai angin semilir.Â
Gerimis mulai mengguyur area sawah, kami masih harus bergerak menyelesaikan program trip hari ini. Kami pun beranjak setelah mengabadikan momen tersebut.
Kampung perca
Tujuan terakhir adalah kampung perca, yang terletak di sisi jalan raya Tajur menuju Ciawi. Kalau kita jeli, ada plang nama kampung perca di pinggir jalan.
Kami tidak langsung menemui pengrajin kain perca, tapi disuguhi minuman bir pletok dan manisan pala. Segar sekali karena didinginkan terlebih dahulu.Â
Ada sebuah rumah yang menjadi tempat berkumpulnya pengrajin perca. Di rumah itu mereka belajar dan berkarya. Kerajinan perca ini inisiatif si pemilik rumah, Pak Mardiono yang dikenal sebagai Pak Has. Dia menggerakkan kerajinan ini sewaktu pandemi untuk mengatasi masalah perekonomian penduduk di sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H