"Selamun aleykum Bapak. Apakah pantai masih jauh?" aku bertanya dengan sopan.
Ia tidak menjawab dengan kata-kata, hanya dengan isyarat tangannya yang terangkat menunjuk untuk jalan terus. Setelah mengucapkan terimakasih, aku melanjutkan perjalanan.
Namun sudah beberapa ratus meter berjalan, belum juga terlihat tanda-tanda mencapai ujung lorong. Keringat semakin deras mengalir. Kepalang tanggung, aku nekad berusaha mencapai tujuan.Â
Mungkin sudah lebih dari satu kilometer berjalan ketika kembali melihat seseorang. Pria tua yang juga bungkuk dan menggunakan tongkat. Aku merasa pria ini mirip dengan yang tadi pertama bertemu. Aneh.Â
Sekali lagi aku bertanya jalan menuju pantai. Pria bungkuk ini juga hanya mengangkat tangannya menyuruh terus berjalan. Aku pun mengikuti dan melanjutkan langkah kaki.Â
Entah berapa lama aku menyusuri lorong ini, ujungnya belum juga terlihat. Aku sangat lelah dan kehausan. Keringat sudah menembus jaket yang aku kenakan. Aku berhenti sejenak, bersandar pada dinding dan mengatur nafas.Â
Tetiba aku melihat pria bungkuk lagi, berjalan dengan tongkat. Jantungku berdesir, jubah yang dipakainya juga mirip dengan dua orang tadi. Apakah ini kebetulan, ataukah para lelaki tua di sini biasa seperti itu?
Dengan ragu aku bertanya arah jalan ke pantai. Dia memberi isyarat dengan mengangkat tangan agar aku terus berjalan. Karena penasaran, aku bertanya lagi.
"Bapak mirip dengan dua lelaki sebelum ini. Apakah bapak keluarga?"
Dia tertawa dengan suara aneh. Kemudian mengangkat kepala dan membuka tudungnya. Oh tidak, rongga matanya bolong tanpa bola mata. Ia terkekeh memperlihatkan taring-taringnya yang panjang. Aku pingsan seketika.
Hembusan angin yang kuat meniup wajahku. Aku mendengar suara ombak berkejaran. Saat membuka mata, seorang pria muda berjongkok di dekat tubuhku yang terbaring di atas pasir.