Salju begitu cepat mencair dan menghilang. Padahal baru satu bulan menyelimuti kota Istanbul. Entahlah, mengapa musim dingin ini salju lambat datang dan segera pergi. Â Padahal salju baru berjatuhan di Istanbul bulan Januari. Dalam beberapa hari ini matahari bersinar, udara pun menghangat. Anomali cuaca sungguh tak terduga.
Tetapi jujur aku lebih suka udara yang hangat. Maklum, sebagai makhluk tropis yang biasa terpanggang matahari, aku tidak tahan kedinginan. Ketika orang lain keluar bermain salju, aku menggigil dalam tiga lapis selimut. Teh dan kopi panas tak terhitung lagi.
Karena itu ketika matahari bersinar, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk keluar rumah. Dengan tetap menggunakan jaket musim dingin dan sepatu skets aku mengikuti keinginan untuk berjemur di pantai.
Kali ini aku mencoba pergi ke area yang belum pernah aku datangi, sebuah distrik yang menjorok ke pantai. Aku melihat di dalam peta, kelihatannya mudah dicapai dengan kendaraan umum. Maka aku pun meluncur ke sana.
Distrik itu merupakan bagian dari kota tua Istanbul yang dahulu bernama Konstantinopel. Banyak bangunan kuno yang masih digunakan baik sebagai tempat tinggal, toko atau kantor. Aku cukup senang melihat pemandangan kota tua ini. Memperhatikan setiap detil gedung antik sambil membayangkan kejayaan masa lalu.
Di sebuah kafe kecil aku menyeruput teh khas Turki dengan roti bakar. Ibu pemilik kafe memperhatikan wajahku dengan seksama.
"Dari negara mana?" Tanyanya dalam bahasa Turki. Tampaknya ia tidak bisa berbahasa Inggris.
"Indonesia," jawabku sambil tersenyum.Â
Ia lalu mengangguk-angguk tertawa kecil. Mumpung di ajak bercakap-cakap, aku menanyakan arah menuju pantai. Ia menunjuk ke sebuah lorong yang dibatasi tembok tinggi di kanan kiri. Setelah membayar, aku kemudian mulai menyusuri lorong itu.
Lorong itu terasa panjang, kadang naik kadang turun. Lantai terbuat dari batu-batu besar yang kasar. Untung aku menggunakan sepatu skets sehingga lebih enteng berjalan kaki. Herannya, sudah lebih dari dua ratus meter aku tidak menemui satu orang pun.Â
Aku mulai merasa lelah dan haus, menyesal bahwa tadi tidak berbekal air mineral. Apalagi ketika menaiki tangga batu, keringat mulai menetes. Kira-kira telah melewati 500 meter, barulah aku melihat seorang pria tua, jalannya sudah bungkuk dengan sebatang tongkat. Ia menggunakan jubah dengan tudung di kepala.