Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Cerpen) Lorong Tak Berujung

11 Februari 2021   21:44 Diperbarui: 11 Februari 2021   22:08 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Selamun aleykum Bapak. Apakah pantai masih jauh?" aku bertanya dengan sopan.

Ia tidak menjawab dengan kata-kata, hanya dengan isyarat tangannya yang terangkat menunjuk untuk jalan terus. Setelah mengucapkan terimakasih, aku melanjutkan perjalanan.

Namun sudah beberapa ratus meter berjalan, belum juga terlihat tanda-tanda mencapai ujung lorong. Keringat semakin deras mengalir. Kepalang tanggung, aku nekad berusaha mencapai tujuan. 

Mungkin sudah lebih dari satu kilometer berjalan ketika kembali melihat seseorang. Pria tua yang juga bungkuk dan menggunakan tongkat. Aku merasa pria ini mirip dengan yang tadi pertama bertemu. Aneh. 

Sekali lagi aku bertanya jalan menuju pantai. Pria bungkuk ini juga hanya mengangkat tangannya menyuruh terus berjalan. Aku pun mengikuti dan melanjutkan langkah kaki. 

Entah berapa lama aku menyusuri lorong ini, ujungnya belum juga terlihat. Aku sangat lelah dan kehausan. Keringat sudah menembus jaket yang aku kenakan. Aku berhenti sejenak, bersandar pada dinding dan mengatur nafas. 

Tetiba aku melihat pria bungkuk lagi, berjalan dengan tongkat. Jantungku berdesir, jubah yang dipakainya juga mirip dengan dua orang tadi. Apakah ini kebetulan, ataukah para lelaki tua di sini biasa seperti itu?

Dengan ragu aku bertanya arah jalan ke pantai. Dia memberi isyarat dengan mengangkat tangan agar aku terus berjalan. Karena penasaran, aku bertanya lagi.

"Bapak mirip dengan dua lelaki sebelum ini. Apakah bapak keluarga?"

Dia tertawa dengan suara aneh. Kemudian mengangkat kepala dan membuka tudungnya. Oh tidak, rongga matanya bolong tanpa bola mata. Ia terkekeh memperlihatkan taring-taringnya yang panjang. Aku pingsan seketika.

Hembusan angin yang kuat meniup wajahku. Aku mendengar suara ombak berkejaran. Saat membuka mata, seorang pria muda berjongkok di dekat tubuhku yang terbaring di atas pasir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun