Beberapa hari aku berada di Istanbul diisi dengan menyiapkan segala sesuatu yang menjadi tugasku. Setelah itu aku baru berani menghubungimu.
"Kau berada dimana?" tanyamu kaget. "Aku akan menjemputmu ke sana".
"Gak usah. Kita bertemu saja di tempat biasa," aku mengelak dengan berbagai alasan.
Ketika aku tiba di tempat perjanjian, di sebuah cafe  tepi pantai Marmara, tak jauh dari jembatan Bosphorus, aku melihat kegelisahanmu. Begitu melihatku, kau langsung berlari dan memeluk erat. Seakan dengan cara itu kau mengungkapkan rasa rindu dan penyesalan. Beberapa saat kita tak mampu berkata-kata. Aku merasakan degub di jantungmu. Aku merasa terharu sekaligus cemas bahwa aku tak mampu memberi penjelasan.
"Mengapa kau tak mau memberitahu tempat tinggalmu? Setelah ini aku akan mengantarmu. Kita bawa barang-barangmu ke apartemenku. Ibu sangat gembira ketika tahu kau datang lagi. Dia memasak makanan kesukaanmu".
Aku menggeleng lemah. Kau menatap tegas,"Pokoknya kau harus ke rumah."
Untunglah pemilik kedai menyodorkan makanan dan minuman. Pembicaraan pun sejenak tertunda. Â Kita justru membicarakan bisnis keluarga yang baru dibangun, yang diharapkan akan memperbaiki ekonomi keluarga dan juga pemasukan tetap bagimu. Kau tampak antusias membicarakan masa depan.
"Dan kita bisa menikah," lanjutmu. Hatiku terlonjak.
"Bukannya kau sudah punya kekasih baru?" tanyaku sambil menenangkan diri.
"Aku sudah putus dengannya. Tidak ada kecocokan dengan kami".
Duh, mengapa aku datang di saat dia sudah putus dengan pacarnya?. Apakah dia masih mencintaiku atau aku hanya akan menjadi pelarian dari kegagalannya berulangkali? Dengan berhati-hati aku mencoba menerangkan.