Hanya  ada beberapa bintang ketika pesawat yang kutumpangi menembus kegelapan malam menuju benua Eropa. Perjalanan panjang ini seperti berlayar di lautan dengan angin semilir. Bayang-bayangmu bermain di sekitarku hingga aku tak dapat memejamkan mata. Maafkan aku sayang. Sengaja aku tak mau memberitahu jadual kedatanganku ke kotamu. Aku tidak ingin kau menyambut di bandara dan membuat aku meleleh dengan binar-binar matamu.
Terkenang kembali saat kita bersama. Kita begitu bahagia menembus hujan deras yang datang tiba-tiba. Entahlah, mungkin hujan itu sengaja menyiram agar kita semakin terjebak dalam suatu rasa yang indah. Tanpa peduli tubuh yang basah kuyup, kau tertawa renyah sambil menggandeng tanganku hingga tiba di apartemen tempat tinggal keluargamu. Kau hanya tersenyum saat ibumu begitu kuatir melihat keadaan kita. Sup yang hangat dan selimut tebal menjadi penghangat kita di sore itu.
Kadang-kadang kita menyusuri keramaian di jalan Istiklal yang dipenuhi lalu lalang wisatawan. Â Atau memandangi selat Marmara dari pelabuhan Eminonu. Burung-burung Camar begitu gesit beterbangan di antara kapal-kapal yang lewat. Menyantap roti bakar dam minum secangkir teh adalah ritual yang selalu kita nikmati. Â Dan kita biasa membicarakan segala sesuatu tanpa ujung pangkal. Kalau tidak, kita hanya berdiam diri mendengarkan nyanyian burung-burung. Kau menggenggam hatiku seperti melodi dalam irama lautan.
Malam-malam yang romantis kita isi dengan dinner di balkon. Sunggguh, aku sangat menyukai masakanmu. Tanganmu begitu terampil mengolah bahan makanan menjadi sesuatu yang lezat. Favoritku adalah Lasagna buatanmu yang membuat aku melupakan usaha untuk melangsingkan diri. Â Apalagi kau begitu gemar mengisi piringku dan memaksaku untuk menghabiskannya. Diet ku gagal selama bersamamu. Â Biarlah, toh kau tidak terlalu peduli akan hal itu.Â
Namun Tuhan berkehendak lain. Sebuah peristiwa menggagalkan rencana masa depan yang kususun bersamamu, yang membuat kita harus berpisah. Pada saat itulah aku memutuskan kembali ke tanah air. Â Kau hanya diam membisu, Â tak mampu berbuat apa-apa. Dengan hati teriris, satu demi satu pakaian masuk ke dalam koper. Tatapanmu menambah luka di belahan jantung ini.
"Apakah kau akan kembali?" tanyamu lirih.
"Jika kau ingin aku kembali, aku akan kembali," bisikku perlahan.Â
Untuk membuatmu percaya bahwa aku berniat untuk kembali, aku tinggalkan satu kopor pakaian. Â Kau tampak ikhlas. tetapi pelukanmu mengatakan sebaliknya. Sebuah kecupan kau berikan sebelum kita berpisah. Pandang matamu begitu sayu mengiringi kepergianku. Hatiku begitu masgul. Apakah aku akan bisa kembali menjumpaimu di sini. Sebenarnyalah aku tak pernah tahu takdir tentang kita berdua. Masa depan adalah rahasia-Nya.
Tahun-tahun berlalu. Kita hanya bisa berkomunikasi melalui media sosial. Banyaknya persoalan yang harus kuhadapi telah mengikiskan harapan untuk kembali ke Istanbul.  Aku tak heran jika kau putus asa dalam penantian. Apalagi keadaanmu juga tak memungkinkan untuk menyusulku ke Indonesia. Hubungan kita semakin kering dan gersang. Aku tak menyalahkan bila kau mencari pengganti diriku. Aku pun tak bereaksi melihat foto-fotomu bersama wanita lain. Memang, aku tak  berani menjanjikan apa-apa. Karena sekali lagi, aku tak tahu rencana masa depan yang dibuatNya.
Aku hanya bisa menyimak kehidupan dari apa yang kau beritakan melalui media sosial. Mungkin kau juga begitu, Kita menjalani kehidupan masing-masing dengan pasrah. Apa  yang terjadi, terjadilah. Aku rela melepasmu. Semakin kusadari bahwa kau adalah episode yang harus aku lalui. Ada takdir lain yang harus aku tempuh, yang sulit untuk kau mengerti. Mudah-mudahan kau memaafkan aku untuk itu.
Kemudian, datanglah kesempatan itu. Aku harus ke Istanbul untuk jangka waktu yang cukup lama. Sudah pasti salah satu resiko yang harus aku hadapi adalah bertemu denganmu. Hatiku bertanya-tanya, apakah nyala api cinta itu masih ada dalam diri kita  masing-masing, atau waktu telah membunuh semua rasa itu.  Maka terbanglah aku menuju ke kotamu, Istanbul yang menyimpan banyak cerita antara kau dan aku.
Beberapa hari aku berada di Istanbul diisi dengan menyiapkan segala sesuatu yang menjadi tugasku. Setelah itu aku baru berani menghubungimu.
"Kau berada dimana?" tanyamu kaget. "Aku akan menjemputmu ke sana".
"Gak usah. Kita bertemu saja di tempat biasa," aku mengelak dengan berbagai alasan.
Ketika aku tiba di tempat perjanjian, di sebuah cafe  tepi pantai Marmara, tak jauh dari jembatan Bosphorus, aku melihat kegelisahanmu. Begitu melihatku, kau langsung berlari dan memeluk erat. Seakan dengan cara itu kau mengungkapkan rasa rindu dan penyesalan. Beberapa saat kita tak mampu berkata-kata. Aku merasakan degub di jantungmu. Aku merasa terharu sekaligus cemas bahwa aku tak mampu memberi penjelasan.
"Mengapa kau tak mau memberitahu tempat tinggalmu? Setelah ini aku akan mengantarmu. Kita bawa barang-barangmu ke apartemenku. Ibu sangat gembira ketika tahu kau datang lagi. Dia memasak makanan kesukaanmu".
Aku menggeleng lemah. Kau menatap tegas,"Pokoknya kau harus ke rumah."
Untunglah pemilik kedai menyodorkan makanan dan minuman. Pembicaraan pun sejenak tertunda. Â Kita justru membicarakan bisnis keluarga yang baru dibangun, yang diharapkan akan memperbaiki ekonomi keluarga dan juga pemasukan tetap bagimu. Kau tampak antusias membicarakan masa depan.
"Dan kita bisa menikah," lanjutmu. Hatiku terlonjak.
"Bukannya kau sudah punya kekasih baru?" tanyaku sambil menenangkan diri.
"Aku sudah putus dengannya. Tidak ada kecocokan dengan kami".
Duh, mengapa aku datang di saat dia sudah putus dengan pacarnya?. Apakah dia masih mencintaiku atau aku hanya akan menjadi pelarian dari kegagalannya berulangkali? Dengan berhati-hati aku mencoba menerangkan.
"Tapi kita tidak bisa menikah".
"Kenapa?" suaramu meninggi.
"Setelah selama ini aku renungkan, kita memang tidak berjodoh. Kita harus berpisah. Bukan karena aku tidak menyayangimu, tetapi karena kita harus menerima takdir masing-masing." bisikku.
"Tidak. Tidak bisa begitu. Aku menantimu bertahun-tahun. Sungguh, aku menjalin hubungan dengan yang lain karena berusaha melipur hatiku dari ingatan tentangmu. Tidak pernah ada orang lain di hatiku kecuali kamu. Tidak pernah ada wanita yang sesuai denganku kecuali kamu," suaramu seperti rentetan peluru.
"Maafkan aku. Aku merasa pasti bahwa kita tidak berjodoh. Aku sudah ikhlas jika kau mencari wanita lain yang lebih baik dariku. Kau patut mendapatkan yang lebih baik," kataku pilu.Â
"Tidak. Aku hanya mau menikah denganmu!" Kau bersikeras.
"Maafkan aku. Kau tidak pernah berusaha menjaga hubungan kita. Hubungan kita sebagai kekasih telah selesai. Â Aku hanya akan menganggapmu sebagai salah satu keluargaku di sini," aku menekankan.
"Tidak. Aku tidak mau," matamu yang kehijauan memancarkan kemarahan. "Aku hanya mau kau menjadi istriku, bukan saudaraku!"
Aku menggeleng keras,"Maafkan aku. Ini sebuah keputusan yang telah aku ambil."
Aku kemudian beranjak dan menyambar tas, berjalan keluar cafe. Kau bergegas menyusul. "Thia, tungggu!"
Aku semakin mempercepat langkahku. Kau setengah berlari berusaha mengejarku. Aku sadari bahwa langkah-langkahmu jauh lebih cepat dariku. Aku pun berlari menuju tepi jalan. Dan kau pun ikut berlari untuk meraihku.
"Thiaaaa,"
Untunglah mobil itu telah stand by di tepi jalan. Â Sebuah mobil sedan bernomor plat Diplomat Indonesia. Pintu menghentak terbuka dari dalam. Aku segera masuk duduk di bangku belakang. Sang sopir melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Sayup-sayup kudengar engkau memanggil namaku. Lebih pedih dari ratapan burung-burung malam yang melintasi Marmara. Hatiku serasa disayat sembilu. Maafkan aku sayang, aku harus pergi dari kehidupanmu agar kau memiliki masa depan yang lebih baik.
"Sudah, jangan lagi kau berhubungan dengan dia," kata lelaki yang duduk di sisiku. Seorang lelaki tampan yang kemudian menggenggam tanganku. Dia adalah suamiku, "The Ambassador of Republik  Indonesia" yang baru.
Citayam, 21 Februari 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H