Aku tercengang. Kok dia mengatakan tentang dirinya sendiri? seolah-olah dia adalah Kartini.
"Maaf, Mbah bicara seperti itu seperti Mbah adalah Ibu Kartini."
"Mbah memang Kartini. Mbah adalah perempuan yang ada dalam sejarah negeri ini. Mbah yang dikenal dengan buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Mbah adalah Kartini, Cu," si nenek menatapku tajam.
Aku terperangah. Tanpa sadar memerhatikan perempuan tua ini. Ya, ia mengenakan kebaya putih seperti yang dikenakan Ibu Kartini. Rambutnya pun disanggul seperti yang ada dalam gambar-gambar di sekolah. Dan wajahnya yang dipenuhi keriput, bentuknya bulat seperti wajah sang pahlawan perempuan Indonesia itu. Aku mendadak menggigil kedinginan.
"Mbah adalah Kartini..., Mbah adalah Kartini.....," suara itu kemudian menjadi gema yang berdengung terus menerus di telingaku.
"Ibu Kartini.., Ibu kita Kartini," aku menjerit histeris.
Tiba-tiba aku merasa tubuhku diguncang keras-keras. Dua tangan yang kuat menggoyang-goyangkan badanku. "Siti.., Siti.., ayo bangun," suara Minah, sepupuku terdengar di telingaku.
"Kartini..," tanpa sadar aku kembali mengucap nama itu.
"Pasti kamu ngelindur. Nggak ada yang namanya Kartini di sini. Yang ada kan cuma nama pahlawan Ibu kita Kartini," tawa si Minah.
"Yah, maksudku itu," kataku pelan. Sambil mendudukkan diri di dipan.
"Mungkin kamu terobsesi karena besok peringatan hari Kartini. Jadi terbawa sampai mimpi. Baca doa nggak sih? ayo bangun, sebentar lagi adzan Subuh."