Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Kartini RTC) Ketika Kartini Menangis

20 April 2015   22:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:20 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14295454531845046210

Suara isak tangis  lamat-lamat terdengar di telingaku. Kupikir aku hanya salah dengar. Tetapi ketika aku menajamkan telinga, suara itu semakin jelas.  Ah, siapa yang menangis tengah malam begini. Aku terduduk di dipan bambu, mencoba melawan kantuk. Otakku menimbang-nimbang, perlukah aku mencari tahu, ataukah lebih baik tidur lagi.

Tetapi suara tangisan itu begitu menggangu. Ini pertanda bahwa aku  takkan bisa tidur lagi. Oleh karena itu, lebih baik aku mencari orang yang menangis. Darimana asal suara tangis itu? sepertinya bukan di dalam rumah. Oh ya, pasti dari rumah sebelah yang hanya terpisah oleh pagar tanaman.

Suara dipan berderit ketika aku bangkit. Dengan berjingkat aku keluar kamar, agar tak membangunkan seisi rumah. Pelan-pelan aku membuka pintu depan tanpa menguncinya kembali. Di luar, suara itu semakin jelas. Ya, benar. asalnya dari rumah sebelah. Sebuah rumah kuno peninggalan zaman Belanda, besar dan kokoh. Sebuah rumah yang tak pernah disentuh oleh modernisasi, dipelihara sebagaimana adanya sejak dahulu.

Dengan sedikit perasaan bersalah, aku menyusup di antara pagar tanaman agar bisa langsung ke rumah tersebut. Lampu penerangan antik ada di halaman, agak temaram. Suara isak tangis berasal dari depan rumah tersebut. Maka aku menyeberangi taman menuju teras terbuka. Aku tak menyangka dengan apa kulihat. Seorang nenek duduk terpekur sambil menangis terisak-isak. Air matanya mengalir begitu deras melewati pipinya yang sudah sangat keriput hingga membasahi baju kebaya putih yang dikenakannya. Jari-jarinya yang gemetar berkali-kali berusaha mengusap airmata itu.

Namun ia menyadari kehadiranku. Nenek itu menoleh dan kaget melihatku,

"Kamu siapa," ia bertanya dengan logat Jawa yang kental.

"Saya cucunya Mbah Makmun yang tinggal di sebelah. Saya kesini karena mendengar suara Mbah menangis," jawabku lembut. Aku teringat bahwa orang tua harus diperlakukan dengan halus.

"Oh begitu. Maaf, Mbah Putri tidak bermaksud membangunkanmu, Cu,"

"Tidak apa, Mbah. Kalau boleh saya tahu, kenapa Mbah menangis? Barangkali ada yang bisa saya bantu." aku lalu duduk di sampingnya.

"Tidak ada apa-apa, Cu. Mbah hanya sedang sedih memikirkan nasib perempuan-perempuan Indonesia sekarang ini."

"Lho, kenapa Mbah sedih? Sekarang perempuan Indonesia hebat-hebat. Ada yang menjadi pilot, dokter, wartawan dan lain-lain. Malah ada yang sudah pernah jadi presiden," kataku heran.

"Apa kamu tidak lihat, mereka meninggalkan anak-anak tanpa pengasuhan yang jelas. Anak-anak menjadi lebih nakal, suka tawuran, banyak yang terjebak narkoba dan minuman keras. Mereka menjadi liar dan tak terkendali," si nenek berkata panjang lebar dengan sesekali terisak.

"Maksud Mbah bagaimana? Saya tidak mengerti,"

"Banyak perempuan mengejar karir, tetapi melupakan tugas utama mendidik anak-anak. Mereka asyik mencari materi sampai lupa menjaga anak-anak."

"Bukankah mendidik anak adalah tugas berdua, ayah dan ibu?"

"Oh kamu tidak mengerti, Cu. Bagaimana pun ibu adalah tangan pertama yang mendidik anak. Ibu yang melahirkan, menyusui, mengajarinya berjalan. Seorang ibu lebih dekat kepada anak daripada seorang ayah. Kalau perempuan lebih suka keluar rumah, maka ia kehilangan banyak waktu untuk bersama-sama anak-anaknya. Nantinya anak-anak kurang perhatian dan mencari pelampiasan di luar rumah."

"Serba salah mbah, tuntutan hidup zaman modern membuat perempuan bekerja. Apalagi biaya hidup yang semakin tinggi. Jika si ibu tidak bekerja, perekonomian mereka menjadi sulit."

"Itu justru akibat dari suami yang lemah. Kalau mereka mampu memenuhi tanggungjawabnya sebagai pencari nafkah, tentu perempuan tidak harus bekerja keluar rumah. Coba kamu lihat perempuan-perempuan yang menjadi TKI di negeri asing. Mereka sudah meninggalkan anak-anaknya, lalu mendapat perlakuan buruk di rantau. Beban perempuan bertambah-tambah. Sementara sang suami hanya menanti kiriman istrinya. Kalau laki-laki yang bertanggungjawab, tidak akan membiarkan istrinya yang menopang keluarga. Dia yang harus kerja keras."

"Barangkali karena laki-laki susah mencari pekerjaan, Mbah."

"Omomg kosong. Itu hanya berlaku untuk lelaki yang lemah dan malas. Dia tidak kasihan kepada istri dan anak-anaknya.  Apapun bisa dikerjakan asal dia ulet, sabar dan pantang menyerah." kata si nenek dengan nada gusar.

"Tapi perempuan bekerja adalah emansipasi wanita yang dulu diperjuangkan oleh Ibu Kartini,"

"Mbah tidak pernah mengajarkan seperti itu. Mbah tidak pernah menganjurkan perempuan untuk meninggalkan anak-anaknya. Mbah dahulu menekankan agar perempuan Indonesia bisa menjalani pendidikan yang lebih tinggi agar tidak bisa dibodohi. Seorang ibu yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi akan menghasilkan anak-anak yang berkualitas karena dia bisa mengajarkan anak-anaknya lebih baik," tandas perempua tua itu berapi-api.

Aku tercengang. Kok dia mengatakan tentang dirinya sendiri? seolah-olah dia adalah Kartini.

"Maaf, Mbah bicara seperti itu seperti Mbah adalah Ibu Kartini."

"Mbah memang Kartini. Mbah adalah perempuan yang ada dalam sejarah negeri ini. Mbah yang dikenal dengan buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Mbah adalah Kartini, Cu," si nenek menatapku tajam.

Aku terperangah. Tanpa sadar memerhatikan perempuan tua ini. Ya, ia mengenakan kebaya putih seperti yang dikenakan Ibu Kartini. Rambutnya pun disanggul seperti yang ada dalam gambar-gambar di sekolah. Dan wajahnya yang dipenuhi keriput, bentuknya bulat seperti wajah sang pahlawan perempuan Indonesia itu. Aku mendadak menggigil kedinginan.

"Mbah adalah Kartini..., Mbah adalah Kartini.....," suara itu kemudian menjadi gema yang berdengung terus menerus di telingaku.

"Ibu Kartini.., Ibu kita Kartini," aku menjerit histeris.

Tiba-tiba aku merasa tubuhku diguncang keras-keras. Dua tangan yang kuat menggoyang-goyangkan badanku. "Siti.., Siti.., ayo bangun," suara Minah, sepupuku terdengar di telingaku.

"Kartini..," tanpa sadar aku kembali mengucap nama itu.

"Pasti kamu ngelindur. Nggak ada yang namanya Kartini di sini. Yang ada kan cuma nama pahlawan Ibu kita Kartini," tawa si Minah.

"Yah, maksudku itu," kataku pelan. Sambil mendudukkan diri di dipan.

"Mungkin kamu terobsesi karena besok peringatan hari Kartini. Jadi terbawa sampai mimpi. Baca doa nggak sih? ayo bangun, sebentar lagi adzan Subuh."

Aku mengangguk. Minah lalu meninggalkan aku sendirian. Masya Allah, jadi tadi aku cuma bermimpi. Sungguh mimpi yang luar biasa, bertemu dengan Ibu Kartini, yang selama ini hanya dikenal dalam sejarah. Aku mengingat kata-katanya dengan jelas. Mungkin ini adalah pesan yang harus kukabarkan kepada kaum perempuan di negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun