Namun, aku masih takut di beranda masih bermunculan tentang berita pernikahanku. Aku yakin ceritaku pasti viral bukan hanya di kampung Cilimus melainkan sampai ke seluruh desa di kecamatan Cijeruk. Sampai saat ini, aku belum berani membuka aplikasi chat.
Aku menahan diri, memilih menyimpan benda pipih itu kembali di atas nakas. Kemudian, mengambil buku hadiah dari Alif di dalam ransel. Gegas aku membukanya sembari menyandarkan punggung kembali di kepala ranjang.
Lembaran awal bukunya saja sudah membuatku senyum-senyum sendiri. Geli. halamam selanjutnya berisi tentang hak dan kewajiban seorang suami terhadap istri serta sebaliknya.
Sampai di halaman berikutnya, aku memilih menyelipkan pembatas halaman buku, lalu menutupnya. Bab tersebut berjudul tentang etika dan tata cara malam pertama. Membaca judulnya saja sudah membuat bulu kuduk merinding, apalagi kalau dibaca seluruh isinya, bisa-bisa aku ketularan mesumnya Alif.
Aku teringat buku-buku di perpustakaan mini milik Alif. Gegas aku berderap ke sana. Netra tiba-tiba terpaku pada sebuah meja di sudut sebelah timur perpustakaan.
Aku melangkah mendekati meja yang sepertinya sering dipakai Alif bekerja. Terlihat dari berkas-berkas yang tersusun rapi pada tiga buah kotak di depannya.
Ada yang menarik perhatian, sehingga membuatku terpaku cukup lama. Sebuah buku catatan mirip diary. Aku duduk di kursi sembari menatap buku tersebut. Perang batin dimulai, antara keinginan membuka dan tidak. Sisi baik mengatakan jangan, karena itu privacy orang lain. Sedangkan sisi buruk mengatakan buka, karena ingin tahu isi hati Alif, sebelum menikah denganku.
Akhirnya, dengan gemetar tangan ini menggapai buku catatan itu.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H