Kabur di Malam Pernikahan
Oleh : Empong Nurlaela
Part 8
Aku menunduk siap menerima instruksi. Terlihat Bu Merry dan Keyla membuka Alquran masing-masing. Aku beringsut mendekati Keyla mencari tahu surat dan ayat yang akan dibaca."Maaf Key, surat apa dan ayat berapa yang akan kita baca?" bisikku.
Keyla menoleh ke arahku sambil tersenyum. "Kita baca Qur'an lanjutan masing-masing, Kak."
Aku mengangguk paham.
Terdengar lantunan indah ayat suci yang dibacakan Bu Merry dan Keyla. Mereka begitu Khusuk. Aku menghembuskan napas lega, karena dugaan dites ternyata meleset. Aku akan sangat malu jika Bu Merry mengetahui bacaan Alquran-ku yang jauh dari fasih. Dulu aku mengaji di masjid dekat rumah hanya sampai kelas tiga SMP. Setelah itu, aku berhenti mengaji karena tidak ada lagi teman seumuranku yang mengaji.
Sejenak aku berfikir surat apa yang akan dibaca, karena aku memang jarang membaca Alquran. Kesibukan sebagai buruh pabrik sepatu di Subang membuatku tidak mempunyai waktu untuk membaca Alquran. Jika  memilih dari surat Alfatihah, aku pasti ketahuan kalau tidak mempunyai lanjutan bacaan sendiri. Pun sama, kalau aku memilih dari surat An-Nasr. Akhirnya tanganku bergerak membuka sutrat yasin. Surat yang sering  dibaca di malam Jum'at sebagai doa untuk Aki dan Nini yang sudah berpulang.
Setelah selesai membaca Alquran, Bu merry beranjak dari Musala. Aku melipat mukena sembari melirik ke arah Keyla.
"Key, Teteh izin dulu ke kamar ya?'
Keyla menarik tanganku. "Mending kita ke perputakaan si abang aja, yuk! Sambil menunggu Isya."
Aku menerima ajakan Keyla dengan antusias. Dulu aku memang suka sekali membaca.
Berbagai macam buku tertata rapi di lemari  berukuran sedang yang terdiri dari tiga tahap. Tiap tahap disekat menjadi beberapa bagian. Di tiap sekat diberi lebel khusus. Mungkin jenis bacaan seperti perpustakaan di SMA.
Aku duduk di karpet mengikuti Keyla.
"Silakan, Teteh bebas mau baca apa aja di sini. Aku juga paling seneng menghabiskan waktu di ruangan ini."
Aku tersenyum menanggpi Keyla.
"O Iya Teh, Ini bacaannya bagus-bagus. Banyak buku islami di sini. Baik itu tentang fikih, tauhid, tasawuf atau novel-novel religi ." Keyla menunjuk ke arah lemari.
Aku sedikit mengernyitkan dahi mencoba memahami apa yang dikatakan Keyla, mencoba mengingat tentang fikih,tauhud dan tasawuf. Rasa-rasanya pernah dipelajari dulu sewaktu SMA pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Baiklah nanti aku cari di google saja. Rasanya malu bertanya langsung pada Keyla. Selain baru pertama kali bertemu di usia dewasa, aku pun butuh penyesuaian dengan keadaan rumah.
"Teh, kok melamun?" Keyla memegang bahuku.
Aku tersentak kaget. "Ng-nggak, Teteh hanya kagum saja sama Keyla."
Keyla tertawa kecil. "Teteh ini ada-ada saja, aku cakep ya Teh, mirip si Abang."
Aku tersenyum menanggapi Keyla, walau dalam hati sebenarnya mengakui ada kesamaan antara Keyla dan Alif. Sama-sama ngaku cakep sendiri. Untungnya mereka cakep beneran. Tapi, kayaknya aku enggak kalah cakep kok. Orang aku ini mantan mojang Subang. Coba aja tanyain, he he ....
"Kalau boleh tahu, sekarang Keyla sekolah atau kuliah, Ya?"
"Keyla kuliah ngambil jurusan kedokteran. Sekarang baru dua semester. Doain ya Teh, moga Allah melancarkan studi Keyla. Biar Keyla nanti bermanfaat buat banyak orang."
Aku terkesiap mendengar penuturan Keyla. Di sisi lain merasa bangga bisa mengenal gadis berpendidikan cantik dan ramah ini. Namun, di sisi lain merasa kecil berada di rumah ini. Rasanya diriku ini hanyalah butiran debu.
"Masyaa Allah ... kamu sungguh luar biasa Key, aku bangga bisa menjadi ...." Ucapanku tergantung kala mau menyebut kakak ipar. Rasanya ada yang janggal mengingat proses pernikahanku dengan Alif.
"Menjadi kakak ipar Keyla begitu, Teh?"
Aku mengaguk malu.
"Teteh jangan sungkan ya! Aku bisa merasakan perasaan Teteh. Makanya dari tadi Keyla nggak ngebahas masalah pernikahan Teteh. Keyla yakin semua yang terjadi atas skenario Allah. Apapun yang menimpa kita itu adalah takdir terbaik. Percaya saja Teh, Allah Maha Tahu apa yan terbaik buat kita."
Bulir bening lolos berjatuhan, mendengar kalimat yang diluncurkan Keyla. Kata-katanya begitu menyentuh kalbu. Refleks aku merengkuh Keyla, lalu menumpahkan tangis dalam pelukannya.
Keyla mengusap punggunggku, lalu mengurai pelukan. Dia mengusap air mataku.
"Teteh jangan nangis lagi ya! Nanti Keyla ikutan sedih."
"Maaf Teteh hanya terharu, mersa bersyukur bisa dipertemukan dengan orang-orang saleh dan salehah ."
"Kita belajar sama-sama ya Teh! Keyla juga masih banyak belajar. Nanti Teteh bisa belajar sama si Abang. Keyla juga banyak diajarin dia."
Aku mengaguk sembari tersenyum. Mana bisa belajar sama abangnya. Keyla mungkin enggak tahu kalau kakaknya itu selalu saja membercandaiku.
"Teteh tahu enggak, kalau si Abang itu dosen termuda di kampus. Dulu, sewaktu awal masuk dia dikira mahasiswa baru. Pas Ospek dia disuruh Push up oleh mahasiswa senior karena dianggap melanggar peraturan dengan tidak memakai papan nama. Si abang nurut saja. Kemudian mahasiswa senior itu menghukum dia lagi dengan menyuruh si Abang memberi hormat pada bendera. Si abang nurut lagi. Selesai dihukum, ketua panitia ospek memperkenalkan pada seluruh mahasiswa baru penyampai materi waktu itu yang tak lain adalah si Abang. Mahasiswa senior itu kaget luar biasa. Langsung menagis di hadapan si Abang dan memohon supaya jangan sampai dikeluarkan dari kampus." Keyla tertawa kecil.
"Terus mahasiswa senior tadi dikeluarkan tidak?" tanyaku penasaran.
"Enggak dong Teh, si Abang langsung memafkan dan tidak menceritakan kejadian itu pada orang lain selain Keyla," jelasnya sambil terkekeh.
Keyla terus bercerita tentang Alif dengan mata  berbinar dan bibir mengulum senyum. Aku hanya sesekali menimpali jika ada hal yang tak dimengerti atau yang ingin ditanyakan. Ceritanya mengalir sampai azan Isya berkumandang.
"Nanti jangan aneh ya Teh, si abang orangnya pelupa. Kalau naruh barang dia suka lupa. Aku pernah membantu nyari pulpen kesayangannya. Nyarinya cape sampe tiarap ke kolong meja. Tahunya, ketemunya di saku baju." Keyla mengakhiri ceritanya sambil tertawa kecil.
***
Selesai makan malam, aku membereskan piring dan gelas bekas makan dan membawanya ke dapur. Alif tersenyum mengucapkan terima kasih, sementara Bu Merry hanya memandangku sekilas. Beliau sepertinya irit senyum dan bicara.
Keyla mengambil piring dari tanganku, ketika aku hendak mencuci piring di westafel. "Udah Teh, Biar ini sama Keyla, Teteh istaraha aja. Pasti capek habis perjalanan jauh."
"Enggak apa-apa Teteh mah sudah biasa pekerjaan seperti ini." Aku tersenyum ke arah Keyla sembari melanjutkan mencuci piring."
Alif menghampiriku, lalu berkata, "Sudah belum sayang, nyuci piringnya?"
Uhuk!
Aku tersedak saliva sendiri, mendengar kata sayang yang diucapkan Alif. Dengan sigap Alif memberiku segelas air putih. Aku langsung meminumnya hingga tandas.
Alif memegang bahuku. "Jangan terburu-buru nyucinya. Aku nungguin kamu kok, di sini."
Ish geer. Siapa yang mau ditungguin?
Aku mengangkat bahu, agar Alif melepaskan tangannya.
Keyla berdehem, kemudian berujar, "Abang jangan bermesraan di sini, enggak liat ada aku!"
"Oh iya lupa, ada adik kecilku." Alif mencubit pipi Keyla. Kemudian, mengapit lenganku berlalu dari dapur. Ingin rasanya melepaskan tangan ini, lalu mendorong Alif. Namun, melihat senyuman Keyla dan kerling matanya membuatku menurut mengikuti lelaki yang berbadan kekar itu.
Sampai di kamar, aku langsung melepaskan tangan Alif dengan kasar. "Kamu jangan nyuri-nyuri kesempatan ya!"
"Siapa yang nyuri kesempatan, udah halal 'kan?"
Aku begidig mendengar kata halal. Jangan-jangan malam ini Alif ....
"Sudah jangan begidig gitu, lagian tadi cuman sandiwara di depan Keyla. Tenang aja, aku ini bukan Pedofil," ucap Alif sembari berbaring santai di atas ranjang.
Sejenak aku mengerutka kening. "Naon (apa) pedofil teh, Bang?"
Alif tertawa, sepertinya pertanyaanku lucu menurutnya.
"Kamu ngetawain aku yang enggak berpendidikan ini?" Aku sedikit tersinggung merasa direndahkan.
"Bukan begitu, maksud aku cari di google biar tahu sendiri." Alif masih terkekeh.
Karena rasa ingin tahu yang besar, gegas aku mengambil ponselku di atas nakas, lalu membuka google mencari kata pedofil.
Aku terbelalak melihat artinya. "Apa? Kamu anggap aku anak kecil?"
Alif kembali terkeh. "Iya, kamu 'kan masih bayi, itu Emak dan Bapak kamu selau manggil oyok."
"Aliiif ...!" Aku sedikit berteriak sembari mencari guling.
Lho kok gulingku enggak ada, di mana ya?
(Bersambung)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H