Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mencari Alibi, Menepis Tudingan

15 Februari 2017   10:58 Diperbarui: 15 Februari 2017   11:38 1443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Reaksi SBY : Motif Politik?

Dapat diduga bahwa ‘serangan’ Antasari langsung membuat SBY bereaksi. Setelah membuat tweet di twiter untuk mengcounter serangan Antasari, SBY pun pada malam harinya merasa perlu melakukan klarifikasi melalui menggelar jumpa pers.

Menurut SBY bahwa pengakuan Antasari itu bukan merupakan sebuah tindakan tanpa motof (politik). Apalagi selang beberapa hari setelah keluarnya grasi Presiden, Antasari pun ‘diundang’ ke istana Negara bertemu Presiden Jokowi. ‘Pertemuan’ inilah kemudian membuat SBY menarik kesimpulan bahwa grasi yang diterima Antasari bukan merupakan sesuatu prosedur hukum yang lazim tanpa syarat.

Meski merupakan sebuah prosedur yang lazim, pemberian grasi Presiden ini memunculkan tanya oleh SBY. Bagi SBY, pengakuan Antasari yang langsung menohok jantungnya adalah sebuah misi politik sebagai konsesi pemberian grasi (lihat di sini).  

Dalam persepsi SBY, Antasari harus terpaksa membuat testimony bahwa beliau adalah dalang utama pembunuhan Nasruddin. Karena bagi SBY, apa yang dilakukan Antasari bukan merupakan sebuah pengakuan yang serta merta dan tanpa alasan. Tapi itu dilakukan Antasari karena telah menyetujui syarat untuk mendapat grasi.

Merasa berhutang budi, maka Antasari harus menerima ‘persyaratan’ dari Presiden Jokowi. Persyaratan itu, dalam pandangan SBY adalah harus menjalankan misi politik untuk menyerang dan mendiskreditkannya dengan memberi pengakuan terbuka mengungkap keterlibatannya sebagai dalang utama pembunuhan Dirut PT. RB Nasruddin Zulkarnaen.  

Rasionalisasi SBY lainnya untuk menolak pengakuan Antasari adalah menuding balik bahwa apa yang sedang terjadi ini merupakan scenario politik Pilkada DKI.  Di mana dengan serangan ala Antasari tersebut diharapkan hal itu dapat menghancurkan kredibilitas dan citra baik keluarga dari paslon 1, AHY-Sylviana.  

Dalam kacamata SBY, pengakuan Antasari yang ujug-ujug sangat beraroma politik untuk kepentingan Pilkada DKI. Yakni upaya untuk merusak namanya dengan tujuan merusak elektabilitas Agus-Sylvi ini bukan terjadi kali ini saja, melainkan sejak November 2016 (baca di sini).  

Klarifikasi Beraroma Tudingan Pula

Namun demikian, kita perlu melihat secara seksama reaksi si mantan Presiden ini. Sebab selalu saja, setiap kali ada masalah yang bersentuhan langsung dengan citra diri dan kredibiltas keluarganya, SBY langsung berekasi sangat cepat, baik itu melalui cuitan di twiter, maupun menggelar jumpa pers. Meski di satu sisi, hal itu merupakan sebuah budaya berkeadaban, tapi pertanyaan kritisnya adalah mengapa ketika memberikan klarifikasi harus pula menuding pihak lain?

Seperti kasus-kasus dan peristiwa sebelumnya. Ketika mengklarifikasi ‘tudingan’ tentang actor politik di balik unjuk rasa 411 SBY dengan gagah berani memperkenalkan sebuah ungkapan baru dalam kasanah perpolitikan Indonesia, yaitu lebaran kuda. Menurut SBY, jika Ahok yang diduga telah melakukan penodaan agama tidak diproses hokum secara tegas dan transparan maka sampai lebaran kuda pun unjuk rasa tidak akan pernah berhenti. Tanpa sadar SBY teleh ‘menunjuk’ hdungnya snediri sebagai actor penggerak demo bela ini bela itu kemarin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun