Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mencari Alibi, Menepis Tudingan

15 Februari 2017   10:58 Diperbarui: 15 Februari 2017   11:38 1443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sbr : https://news.detik.com/berita/d-3422770/sby-ungkap-buka-dan-beberkan-kasus-yang-libatkan-antasari

Oleh : eN-Te

Menghentak dan mengejutkan. Tanpa tedeng aling-aling, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar memberi pengakuan. Seusai melaporkan kasus SMS ‘gelap’ sebagai rekayasa atas pemidanaan dirinya di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, Antasari langsung menggelar jumpa pers untuk menyampaikan cerita. Menurut Antasari cerita yang akan disampaikan itu merupakan cerita baru yang belum pernah dia sampaikan ke publik.  

Selasa (14/2/17) seusai keluar dari ruang Bareskrim Polri, Antasari pun memenuhi janjinya untuk menyampaikan cerita baru itu (lihat berita). Antasari seakan ‘memproklamirkan’ bahwa sekarang adalah saat yang paling tepat untuk membuka benang kusut seputar kasus pembunuhan Dirut PT. Putra Rajawali Banjaran (PRB) Nasruddin Zulkarnaen.

Lawan Duel

Setelah sekian lama mendekam di penjara dan merasa telah dikriminalisasi hanya dengan sebuah bukti sumir SMS gelap, Antasari ingin menunjukkan kewajiban moral untuk mengungkap kasus pembunuhan itu secara terang benderang. Bagi Antasari, tidak perlu lagi ada dusta di antara kita.

Negara dan public Indonesia harus mendapat pencerahan, bahwa adalah hak setiap warga Negara untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran. Karena itu atas nama keadilan dan kebenaran, Antasari langsung menunjuk hidung, bahwa dalam kasus pembunuhan Dirut PT. PRB itu, dalang utama rekayasa untuk mengkriminalisi dirinya adalah mantan Presiden RI ke-6 Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Maka tanpa harus memperhitungkan segala untung rugi, dan juga keselamatan jiwanya, Antasari seakan memulai perang terbuka. Tak tanggung-tanggung, calon lawan duel yang ingin diajak bertarung adalah SBY, yang juga merupakan mantan Presiden RI ke-6.

Testimoni Antasari

Antasari rupanya mempunyai alasan yang sangat kuat untuk mengajak duel SBY dalam perang terbuka itu. Karena bagi Antasari, apa yang telah dituduhkan dan didakwakan kepadanya sehingga dia harus mendekam di balik jeruji besi hampir delapan tahun merupakan sebuah pendholiman yang amat keji. Bagi Antasari, pendekatan dan arogansi kekuasaan telah menjadi alat yang sangat mematikan sebagai perangkat untuk menjebaknya dalam pusaran kasus pembunuhan Nasruddin. Di mana melalui upaya rekayasa SMS gelap, sehingga membuat Antasari harus menerima kenyataan pahit dipidana untuk sebuah tindakan yang tidak pernah dilakukannya.

Antasari merasa ada benang merah yang menghubungkan berbagai rangkaian peristiwa hingga membuatnya harus menjadi pesakitan. Mulai dari kasus yang membuat besan SBY, Aulia Pohan harus mendekam di penjara hingga rencana pengusutan teknologi informasi (TI) yang digunakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menghitung suara pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009.

Aulia Pohan merupakan ayah Annisa Pohan, istri Agus Harymurti Yudhoyono (AHY) putra tertua SBY, yang saat ini sedang memburu nasib meraih ‘tahta’ DKI 1. Seperti sudah diketahui bahwa Aulia Pohan terpaksa harus berhadapan dengan penyidik KPK waktu itu karena diduga telah menyalahgunakan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) hingga 100 milyar rupiah.

Penyelewengan dana YPPI itu menyeret Aulia Pohan sebagai besan SBY harus berhadapan dengan penyidik KPK. Dalam proses penyelidikan KPK terungkap peran Aulia Pohan sebagai salah seorang Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) yang turut mengeruk dana YPPI itu. Karena perannya tersebut, sehingga penyidik KPK menetapkan Aulia Pohan sebagai salah seorang tersangka. Status tersangka tersebut membuat Aulia Pohan dalam prosedur pengungkapan sebuah kasus oleh KPK sangat berpotensi untuk selanjutnya akan ditahan.

Sikap Antasari

Mendapati kenyataan bahwa besannya berpotensi akan ditahan KPK, maka SBY merasa perlu mengirim ‘utusan’ ke rumah Antasari. Menurut pengakuan Antasari, bahwa orang ‘utusan’ yang dikirim ke rumahnya adalah  bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo (HT). Kehadiran HT ke rumahnya, menurut Antasari membawa misi dan tujuan khusus. Tujuan dan misi kedatangan HT adalah melobi Antasari agar dapat menggunakan kewenangannya sebagai Ketua KPK  untuk mencegah penyidik menahan Aulia Pohan.

Namun, Antasari bergeming. Antasari menolak misi yang diemban HT yang merupakan utusan SBY. Meski HT berkali-kali menegaskan bahwa misi kedatangannya merupakan ‘titah’ langsung dari orang nomor satu di negeri ini, Antasari tetap pada pendiriannya.

Sikap Antasari yang menolak untuk memenuhi ‘keinginan’ SBY sebagaimana pesan yang disampaikan HT, karena mengacu pada Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku di KPK. Menurut Antasari, dalam proses penyelidikan dan penyidikan sebuah kasus pidana, sudah ada SOP yang menegaskan bahwa bila seseorang telah ditetapkan sebagai tersangka maka pada tahap selanjutnya akan ditahan. Bagi Antasari, merupakan sebuah pelanggaran prosedur bila harus memenuhi ‘permintaan’ SBY untuk tidak menahan besannya, Aulia Pohan.

‘Skenario’ Sang Dalang

Sikap Antasari yang tetap keuh-keuh tidak mengabulkan misi yang dibawa HT, membuat keadaan menjadi sulit. SBY pun murka. Sebagai penguasa negeri, akan menjadi tidak elok di mata keluarga bila tidak sanggup menolong orangtua dari menantunya. Pada satu sisi sang besan harus ‘diselamatkan’, sementara di sisi lain, sebagai seorang Presiden yang merupakan lembaga eksekutif tidak diperkenankan dalam system ketanegaraan untuk melakukan intervensi proses hukum yang sedang berjalan oleh penegak hukum (lembaga yudikatif).

Sayangnya, perang bathin ini kemudian dimenangkan oleh ikatan emosional sebagai keluarga besar. Maka ‘skenario’ sebagaimana terbaca dari testimony Antasari pun disusun. Targetnya adalah membuat seolah-olah ada kisah romantisme cinta segitiga antara tiga anak manusia. Ada persaingan yang dibumbui dengan perasaan cemburu antara Dirut PT. PRB Nasruddin dengan Antasari dalam memperebutkan gadis caddy, Rani Juliani. Puncaknya, Dirut PT. PRB harus ‘dikorbankan’ untuk menjebak Antasari masuk dalam pusaran sebuah kasus pidana.

Menghilangkan Beban Moral

Singkat cerita Antasari pun divonis bersalah sebagai ‘otak’ pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen. Setelah menjalani tiga perempat hukuman kurungan, Antasari pun mendapat kesempatan bebas bersyarat. Sambil menikmati masa bebas bersyarat Antasari merasa perlu melakukan sesuatu untuk membersihkan nama baiknya dengan mengajukan grasi ke Presiden Jokowi. Karena bagi Antasari predikat sebagai terpidana pembunuhan merupakan aib dan akan menjadi beban moral bagi anak-anak dan cucu-cucunya kelak. Dan Antasari tidak ingin predikat seram itu akan membebani keluarganya.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Permohonan grasi yang diajukan Antasari dikabulkan Presiden Jokowi. Maka sejak saat terbitnya grasi tersebut Antasari pun bebas murni dan kembali dapat melakukan aktivitasnya sebagai orang bebas seperti warga Negara lainnya. Maka secara defakto dan deyure, resmi Antasari menyandang status sebagai warga Negara bebas yang memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti warga Negara lainnya.

Reaksi SBY : Motif Politik?

Dapat diduga bahwa ‘serangan’ Antasari langsung membuat SBY bereaksi. Setelah membuat tweet di twiter untuk mengcounter serangan Antasari, SBY pun pada malam harinya merasa perlu melakukan klarifikasi melalui menggelar jumpa pers.

Menurut SBY bahwa pengakuan Antasari itu bukan merupakan sebuah tindakan tanpa motof (politik). Apalagi selang beberapa hari setelah keluarnya grasi Presiden, Antasari pun ‘diundang’ ke istana Negara bertemu Presiden Jokowi. ‘Pertemuan’ inilah kemudian membuat SBY menarik kesimpulan bahwa grasi yang diterima Antasari bukan merupakan sesuatu prosedur hukum yang lazim tanpa syarat.

Meski merupakan sebuah prosedur yang lazim, pemberian grasi Presiden ini memunculkan tanya oleh SBY. Bagi SBY, pengakuan Antasari yang langsung menohok jantungnya adalah sebuah misi politik sebagai konsesi pemberian grasi (lihat di sini).  

Dalam persepsi SBY, Antasari harus terpaksa membuat testimony bahwa beliau adalah dalang utama pembunuhan Nasruddin. Karena bagi SBY, apa yang dilakukan Antasari bukan merupakan sebuah pengakuan yang serta merta dan tanpa alasan. Tapi itu dilakukan Antasari karena telah menyetujui syarat untuk mendapat grasi.

Merasa berhutang budi, maka Antasari harus menerima ‘persyaratan’ dari Presiden Jokowi. Persyaratan itu, dalam pandangan SBY adalah harus menjalankan misi politik untuk menyerang dan mendiskreditkannya dengan memberi pengakuan terbuka mengungkap keterlibatannya sebagai dalang utama pembunuhan Dirut PT. RB Nasruddin Zulkarnaen.  

Rasionalisasi SBY lainnya untuk menolak pengakuan Antasari adalah menuding balik bahwa apa yang sedang terjadi ini merupakan scenario politik Pilkada DKI.  Di mana dengan serangan ala Antasari tersebut diharapkan hal itu dapat menghancurkan kredibilitas dan citra baik keluarga dari paslon 1, AHY-Sylviana.  

Dalam kacamata SBY, pengakuan Antasari yang ujug-ujug sangat beraroma politik untuk kepentingan Pilkada DKI. Yakni upaya untuk merusak namanya dengan tujuan merusak elektabilitas Agus-Sylvi ini bukan terjadi kali ini saja, melainkan sejak November 2016 (baca di sini).  

Klarifikasi Beraroma Tudingan Pula

Namun demikian, kita perlu melihat secara seksama reaksi si mantan Presiden ini. Sebab selalu saja, setiap kali ada masalah yang bersentuhan langsung dengan citra diri dan kredibiltas keluarganya, SBY langsung berekasi sangat cepat, baik itu melalui cuitan di twiter, maupun menggelar jumpa pers. Meski di satu sisi, hal itu merupakan sebuah budaya berkeadaban, tapi pertanyaan kritisnya adalah mengapa ketika memberikan klarifikasi harus pula menuding pihak lain?

Seperti kasus-kasus dan peristiwa sebelumnya. Ketika mengklarifikasi ‘tudingan’ tentang actor politik di balik unjuk rasa 411 SBY dengan gagah berani memperkenalkan sebuah ungkapan baru dalam kasanah perpolitikan Indonesia, yaitu lebaran kuda. Menurut SBY, jika Ahok yang diduga telah melakukan penodaan agama tidak diproses hokum secara tegas dan transparan maka sampai lebaran kuda pun unjuk rasa tidak akan pernah berhenti. Tanpa sadar SBY teleh ‘menunjuk’ hdungnya snediri sebagai actor penggerak demo bela ini bela itu kemarin.

Begitu pula ketika SBY mencuit tentang berita hoax, tanpa malu-malu pula menuding rezim saat ini sebagai dalang utama pembuat berita hoax. Kemudian muncul lagi ‘kegaduhan’ di ruang sidang Ahok yang menghadirkan  Ketua Umum (Ketum) Majelis Ulama Indonesia (MUI), K.H. Ma;ruf Amin. Tak ada angin tak ada hujan, SBY langsung menggelar jumpa pers dan malah secara tersirat membenarkan ‘tuduhan’ Tim Penasehat Hukum (PH) Ahok.

Atas ‘tuduhan’ Tim PH tersebut, SBY seperti biasa balik menuding rezim penguasa saat ini sebagai telah melakukan tindakan ilegal menyadap teleponnya. Meski sebagai mantan Presiden, sangat tahu dan paham bahwa perbuatan penyadapan tidak sembarangan dapat dilakukan tanpa melalui persetujuan hakim di pengadilan. Lagi pula SBY tahu bahwa lembaga-lembaga sandi Negara tidak dapat menggunakan kewenangannya untuk memenuhi kepeningan kekuasaan.

Lagi-lagi SBY memberikan reaksi bernuansa tudingan pula dan menempatkan posisinya, seolah-olah sebagai korban (the victim) permainan politik penguasa. Setelah mendapat serangan Antasari, SBY kembali menuding bahwa pengakuan yang diberikan Antasari merupakan titipan penguasa. Bahwa apa yang dipertontonkan Antasari saat ini merupakan bagian dari tawar menawar politik ketika memperoleh grasi dari Presiden Jokowi.

_____________

Mana alibi yang benar dan dapat diterima secara akal sehat kembali kepada public masing-masing untuk mencermati, menelaah, dan menyimpulkan serta mengambil kesimpulan sendiri-sendiri. Saya tidak bermaksud menyimpulkan fenomena social dan atmosfir politik yang sedang terjadi sebagai sebuah hal yang rigid. Kita perlu membaca semua gejala itu sebagai bagian yang inheren dari dinamika social untuk pendewasaan system politik kita.

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 15  Februari  2017   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun