Untuk urusan bayar listrik supaya rumah itu tidak gelap di malam hari, kakakku yang nomer dua yang selalu membayarnya, tidak banyak tagihan listriknya, karena hanya menyalakan lampu teras dan garasi, tapi itupun sejujurnya aku juga tidak pernah peduli.
Tadi waktu di rumah Bapak aku juga melihat pintu rumah tengah hampir roboh, mungkin benar kata suamiku dan mas serta mbak, mbakku, aku memang egois, aku ingin menguasai rumah itu demi kenanganku, padahal aku sendiri tidak pernah merawat kenangan itu.
Aku menghela nafas panjang, besok pagi akan aku telp masku sulungku dan akan aku sampaikan, aku setuju menjual rumah itu, kalau perlu pakai jasa properti supaya cepat laku, supaya rumah itu segera ada yang merawat dan memanfaatkannya daripada rusak tak berguna dan hasil penjualannnya pun bisa dimanfaatkan oleh saudara-saudaraku yang sudah sepuh.
Aku mau kembali merebahkan badanku di samping suamiku, ketika HP ku bergetar, nama mbak ku yang nomer 3 tertera di layar HP, aku mengangkatnya, belum sempat aku bilag hallo, kakakku sudah membuka suara duluan :"Mas Susilo sudah mendahului kita."
HPku jatuh di tempat tidur :"Inikah yang aku mau? mas dan mbak, mbakku pergi satu persatu dan tidak pernah bisa menikmati harta warisan Bapak?"
Aku menangis sejadi-jadinya menyesali semua tindakanku.
(Tamat)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H