"Maksudnya hitung-hitungan? Kan memang semua harus ada batas waktunya, kapan mau mulai dibayar, sampai kapan, kalau semaunya, bisa jadi kami bertiga sudah nggak ada, pembayaran kamu belum lunas juga, atau itu yang kamu mau, kamu memang sengaja menunggu kami meninggal, supaya kamu bisa menguasai rumah Bapak ini? Bukankah sebetulnya kamu yang keterlaluan?" Kata mas sulung ku lagi.
"Masya Allah mas, sekeji itu mas menuduh saya? Saya hanya ingin mempertahankan rumah Bapak ini mas, supaya kita masih punya kenang-kenangan tentang Bapak."
"Kenangan tentang Bapak hidup dalam diri kita masing-masing dan kita mengenang Bapak dengan cara kita sendiri-sendiri." Kata mbak ku yang nomer 3. Dia sengaja pulang ke Indonseia demi membahas rumah warisan Bapak.
Aku mengela nafas, aku rasa diskusi malam ini menemui jalan buntu, tidak ada keputusan yang bisa diambil, karena aku tetap bekeras dengan pendirianku dan ketiga saudaraku dengan pendirian mereka.
"Mulai besok kita pasang saja papan pengumuman kalau rumah ini dijual." Kata mbak ku yang nomer dua.
"Saya tidak mau tanda tangan, kalau mbak dan mas berkeras tetap mau menjual rumah ini, rumah ini mau saya beli sesuai dengan yang saya sampaikan tadi dan sesuai harga NJOP."
"Semakin kelihatan egoismu." Kata mas Sulungku.
"Egois kata mas? Lalu mas dan mbak, mbak ini apa? Saya rasa mas dan mbak, mbak punya uang untuk membeli rumah ini dan merawatnya menjadi rumah kenangan, tapi malah pada bekeras ingin menjualnya. Apa mas dan mbak, mbak tidak punya sedikitpun keinginan untuk menyelamatkan harta Bapak?"
"Kami realistis, karena kalau rumah ini dibeli oleh orang lain, tentu akan dimanfaatkan sebaik-baiknya, tapi kalau kita pertahankan siapa yang akan membayar biaya perawatannya tiap bulan? Membiarkan rumah ini roboh dan hancur menurut saya justru adalan tindakan keterlaluan, membiarkan orang lain menyaksikan kehancuran rumah ini membuat kenangan akan kejayaan bapak di masa lalu koyak." Kata masku lagi.
Aku diam saja, jengkel sekali rasanya dengan mereka bertiga ini. Kenapa begitu ingin menjual rumah bapak, seolah mereka kekurangan harta, padahal aku rasa harta mereka berlimpah ruah, bahkan mungkin akan cukup untuk membiayai anak cucu mereka, tapi kok ngotot ingin menjual rumah Bapak.
Aku meninggalkan mereka begitu saja di ruang tamu rumah Bapak, terserah mereka mau bilang aku tidak sopan, kurang ajar atau apa saja, terserah, aku ingin kembali ke hotel dan tidur. Pokoknya aku tetap pada pendirianku, bahwa aku tidak setuju menjual rumah Bapak kepada orang lain dan akan membeli rumah itu sesuai kemampuanku.