_***_
Ketika sampai di hotel aku bercerita pada 'suamiku', laki-laki yang tidak pernah aku kenalkan pada keluarga besarku, karena aku adalah istri kedua dari pria ini. Kakak-kakakku pasti tidak akan setuju dengan jalan hidup yang aku pilih yaitu menjadi istri ke 2.
Tapi ini kan takdirku, kalau boleh memilih, aku juga ingin mempunyai keluarga seperti orang lain. Punya suami yang bisa dengan bangga dikenalkan pada siapa saja.
"Kok wajahnya ditekuk Bund?" Tanya suamiku ketika aku merebahkan badanku di sebelahnya.
"Jengkel sama mas dan mbak, mbakku, ngotot banget ingin menjual rumah Bapak, nggak ada sedikitpun perasaan sayang mereka pada rumah kenangan itu." Keluhku.
"Kalau menurut saya beliu-beliau tidak salah, Bund, usia beliau-beliau kan sudah sepuh, mereka tidak butuh kenangan itu, yang mereka butuhkan 'tinggalan nyata" dari bapak, berupa uang hasil penjualan rumah yang bisa dimanfaatkan di hari tua beliau-beliau semua. Entah untuk memberi modal pada putra-putra mereka, cucu-cucu mereka atau untuk menikmati hari tua dengan liburan keliling Indonesia atau bahkan keliling dunia,"
"Bunda sudah menyanggupi untuk membelinya, tapi ya tentu tidak bisa sesuai dengan harga pasar, bunda mau membeli sesuai dengan harga NJOP dan membayarnya secara bertahap." Aku menjelaskan pada suamiku.
"Kamu itu kok egois banget Bund, harga sesuai NJOP itu kan jauh banget dari harga pasar Bund, ya enak di kamu, enek di beliau semua. Kalau Bunda bisa membeli rumah itu sesuai NJOP kemudian Bunda berubah pikiran lalu berniat menjual lagi, untung Bunda besar sekali, itu kemungkinan pertama, kemungkinan kedua, rumah itu Bunda wariskan pada Nungki, putri kita, oleh Nungki rumah itu dijual.
"Artinya Nungki juga sudah mengeruk untung dari kecurangan Bunda. Nggak barokah rejeki seperti itu Bund, saran ayah jual rumah itu sesuai harga pasar, bagi rata dengan mas dan mbak, mbak-nya Bunda, Ayah rasa yang seperti ini lebih Baroh, kalau Bunda mau membelinya ya beli sesuai harga pasar, kalau mau dibayar bertahap tentukan berapa tahap bunda mampu, kalau semua kemungkinan itu Bunda tidak mampu, Bunda harus mengikhlaskan rumah itu dijual ke orang lain." Kata suamiku panjang lebar.
Aku terdiam berdiri dari tempat tidur lalu berjalan ke arah kaca jendela hotel, menatap ke luar...lampu-lampu penerang gelap malam sudah mulai menyala di rumah-rumah di sekitar hotel, ingatanku menjangkau rumah Bapak. Rumah yang sekarang kondisinya gelap gulita, karena hanya lampu teras yang menyala.
Sejak ibu tiada, aku sudah tidak pernah lagi tidur di rumah Bapak, bila aku harus datang ke kota ini, aku selalu tidur di hotel, rumah itu juga tidak ada yang mengurus, rusak karena tidak ada yang merawat.