Mohon tunggu...
EmilyWu
EmilyWu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis, Cerpenis, Menerima Jasa Penulisan Novel.

Walaupun aku tak bersayap, aku ingin terbang ke langit mengambil matahari, bintang dan bulan. Ide cantik selalu menarik untuk kuketik dan kususun dengan indah menjadi sebuah kisah...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Rumah Warisan Bapak

16 Juni 2022   06:45 Diperbarui: 16 Juni 2022   22:11 1001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Gambar oleh Dietmar Ematinger dari Pixabay)

Aku berjalan mengitari rumah warisan Bapak. Rumah dengan 8 kamar tidur ini seolah bercerita bahwa dulu rumah ini dihuni banyak orang.

Dulu banyak sepupuku dari pihak Bapak dan Ibu numpang di rumah kami ini. Mereka kebanyakan dari desa dan sedang menyelesaikan pendidikan di kotaku.

Aku tumbuh besar di rumah ini. Rumah inilah yang aku huni sejak lahir hingga aku dewasa, berbeda dengan 3 kakakku, mereka tidak tumbuh besar di rumah ini, karena ketika aku lahir mas ku yang sulung dan kakakku yang nomer 2 sudah menikah dan tinggal di kota lain, sedangkan kakakku yang nomer 3 saat ini sedang menyelesaikan kuliah di luar negri dan sampai detik ini menetap di negri di mana dia menuntut ilmu.

Jarak umurku dengan saudara-saudaraku memang sangat jauh, bahkan anak mas sulungku pun usianya lebih tua dari aku, hal itu karena aku berbeda ibu dengan mereka.

Bapak menikah dengan ibuku ketika anak-anak Bapak sudah pada dewasa. Istri Bapak yang pertama meninggal ketika melahirkan kakakku yang nomer 3, sejak itu Bapak menduda dan membesarkan anak-anaknya sampai mereka dewasa semua.

Ketika masku yang sulung mau menikah, Bapak mulai dekat dengan ibu. Konon katanya Bapak mengenal ibu, karena ibu setiap pagi lewat di depan rumah Bapak untuk menuju sebuah pabrik tempat kerja ibu.

Ibu lahir dari keluarga miskin, ketika Bapak yang masih keturunan priyayi dengan karir di pemerintahan yang bisa dibilang cemerlang dan juga mempunyai bisnis sampingan toko kelontong yang lumayan sukses melamar ibu, keluarga ibu dengan tangan terbuka menerimanya. 

Jarak usia tidak dipermasalahkan oleh mereka, apalagi di usianya yang sudah 50 tahun ketika itu, Bapak masih tampak gagah dan ganteng. Ditambah lagi, Bapak berjanji menyekolahkan adik-adik ibu yang berjumlah 5 orang.

Ibu tidak salah memilih suami, karena dengan menikahi Bapak, keluarga ibu bisa terselamatkan ekonominya, adik-adik ibu semua disekolahkan sampai tingkat sarjana. Bapak juga sangat menyayangi dan memanjakan ibu.

Setelah menikah dengan Bapak ibu tidak lagi bekerja di pabrik, tapi ibu bisa mengembangkan bakatnya sebagai penari dan membuka les tari di pendopo rumah kami yang luas.

Bapak meninggal di usia 98 tahun dan di usia yang sangat sepuh itu, semasa hidupnya Bapak jarang sakit, pendengarannya masih bagus, pengelihatannya juga tidak terlalu terganggu, Bapak juga tidak pikun, bapak sakit karena usia dan akhirnya berpulang di umurnya yang hampir 98 tahun.

Dua tahun setelah Bapak berpulang, ibu menyusul menghadap Sang Khalik. Sejak itulah rumah Bapak kosong tidak ada yang menempati. Aku sendiri setelah menyelesaikan kuliah bekerja di luar kota dan hanya pulang satu bulan sekali untuk menengok Bapak dan Ibu.

Kini setelah hampir tujuh tahun ibu menyusul Bapak, saudara-saudaraku mengusulkan untuk menjual rumah Bapak, sebuah keinginan yang dengan tegas ku tolak.

"Sudah rumah Bapak dijual saja, uang hasil penjualannya kita bagi empat." Kata mas ku yang sulung.

"Saya setuju," Kata mbakku yang nomer dua.

"Usul yang bagus." Mbak ku yang nomer 3 mendukung.

Walaupun usia ku seumuran anak mereka, tapi demi mempertahankan rumah Bapak dengan berani aku melawan dan menentang usul mereka.

"Saya tidak setuju rumah ini dijual ke orang lain." Kataku tegas.

"Terus mau dibiarkan rusak begitu saja?" Tanya mas sulungku ketus.

"Saya yang akan membeli rumah ini, tapi mohon waktunya dan saya tidak bisa langsung membayar lunas rumah ini, akan saya bayar bertahap dengan batas waktu yang tidak ditentukan." Aku meminta pengertian mereka.

"Bagus kalau begitu, saya setuju kalau kamu memang mau membeli rumah ini, tidak apa-apa kalau bayarnya bertahap, tapi ya tetap harus pakai batas waktu lah, dan mau mulai kapan membayarnya?" Mas sulungku bicara lagi.

"Yaampun mas, betapa mata duitan sekali ya mas ini, masak sama adik sendiri hitung-hitungan begitu."

"Maksudnya hitung-hitungan? Kan memang semua harus ada batas waktunya, kapan mau mulai dibayar, sampai kapan, kalau semaunya, bisa jadi kami bertiga sudah nggak ada, pembayaran kamu belum lunas juga, atau itu yang kamu mau, kamu memang sengaja menunggu kami meninggal, supaya kamu bisa menguasai rumah Bapak ini? Bukankah sebetulnya kamu yang keterlaluan?" Kata mas sulung ku lagi.

"Masya Allah mas, sekeji itu mas menuduh saya? Saya hanya ingin mempertahankan rumah Bapak ini mas, supaya kita masih punya kenang-kenangan tentang Bapak."

"Kenangan tentang Bapak hidup dalam diri kita masing-masing dan kita mengenang Bapak dengan cara kita sendiri-sendiri." Kata mbak ku yang nomer 3. Dia sengaja pulang ke Indonseia demi membahas rumah warisan Bapak.

Aku mengela nafas, aku rasa diskusi malam ini menemui jalan buntu, tidak ada keputusan yang bisa diambil, karena aku tetap bekeras dengan pendirianku dan ketiga saudaraku dengan pendirian mereka.

"Mulai besok kita pasang saja papan pengumuman kalau rumah ini dijual." Kata mbak ku yang nomer dua.

"Saya tidak mau tanda tangan, kalau mbak dan mas berkeras tetap mau menjual rumah ini, rumah ini mau saya beli sesuai dengan yang saya sampaikan tadi dan sesuai harga NJOP."

"Semakin kelihatan egoismu." Kata mas Sulungku.

"Egois kata mas? Lalu mas dan mbak, mbak ini apa? Saya rasa mas dan mbak, mbak punya uang untuk membeli rumah ini dan merawatnya menjadi rumah kenangan, tapi malah pada bekeras ingin menjualnya. Apa mas dan mbak, mbak tidak punya sedikitpun keinginan untuk menyelamatkan harta Bapak?"

"Kami realistis, karena kalau rumah ini dibeli oleh orang lain, tentu akan dimanfaatkan sebaik-baiknya, tapi kalau kita pertahankan siapa yang akan membayar biaya perawatannya tiap bulan? Membiarkan rumah ini roboh dan hancur menurut saya justru adalan tindakan keterlaluan, membiarkan orang lain menyaksikan kehancuran rumah ini membuat kenangan akan kejayaan bapak di masa lalu koyak." Kata masku lagi.

Aku diam saja, jengkel sekali rasanya dengan mereka bertiga ini. Kenapa begitu ingin menjual rumah bapak, seolah mereka kekurangan harta, padahal aku rasa harta mereka berlimpah ruah, bahkan mungkin akan cukup untuk membiayai anak cucu mereka, tapi kok ngotot ingin menjual rumah Bapak.

Aku meninggalkan mereka begitu saja di ruang tamu rumah Bapak, terserah mereka mau bilang aku tidak sopan, kurang ajar atau apa saja, terserah, aku ingin kembali ke hotel dan tidur. Pokoknya aku tetap pada pendirianku, bahwa aku tidak setuju menjual rumah Bapak kepada orang lain dan akan membeli rumah itu sesuai kemampuanku.

_***_

Ketika sampai di hotel aku bercerita pada 'suamiku', laki-laki yang tidak pernah aku kenalkan pada keluarga besarku, karena aku adalah istri kedua dari pria ini. Kakak-kakakku pasti tidak akan setuju dengan jalan hidup yang aku pilih yaitu menjadi istri ke 2.

Tapi ini kan takdirku, kalau boleh memilih, aku juga ingin mempunyai keluarga seperti orang lain. Punya suami yang bisa dengan bangga dikenalkan pada siapa saja.

"Kok wajahnya ditekuk Bund?" Tanya suamiku ketika aku merebahkan badanku di sebelahnya.

"Jengkel sama mas dan mbak, mbakku, ngotot banget ingin menjual rumah Bapak, nggak ada sedikitpun perasaan sayang mereka pada rumah kenangan itu." Keluhku.

"Kalau menurut saya beliu-beliau tidak salah, Bund, usia beliau-beliau kan sudah sepuh, mereka tidak butuh kenangan itu, yang mereka butuhkan 'tinggalan nyata" dari bapak, berupa uang hasil penjualan rumah yang bisa dimanfaatkan di hari tua beliau-beliau semua. Entah untuk memberi modal pada putra-putra mereka, cucu-cucu mereka atau untuk menikmati hari tua dengan liburan keliling Indonesia atau bahkan keliling dunia,"

"Bunda sudah menyanggupi untuk membelinya, tapi ya tentu tidak bisa sesuai dengan harga pasar, bunda mau membeli sesuai dengan harga NJOP dan membayarnya secara bertahap." Aku menjelaskan pada suamiku.

"Kamu itu kok egois banget Bund, harga sesuai NJOP itu kan jauh banget dari harga pasar Bund, ya enak di kamu, enek di beliau semua. Kalau Bunda bisa membeli rumah itu sesuai NJOP kemudian Bunda berubah pikiran lalu berniat menjual lagi, untung Bunda besar sekali, itu kemungkinan pertama, kemungkinan kedua, rumah itu Bunda wariskan pada Nungki, putri kita, oleh Nungki rumah itu dijual.

"Artinya Nungki juga sudah mengeruk untung dari kecurangan Bunda. Nggak barokah rejeki seperti itu Bund, saran ayah jual rumah itu sesuai harga pasar, bagi rata dengan mas dan mbak, mbak-nya Bunda, Ayah rasa yang seperti ini lebih Baroh, kalau Bunda mau membelinya ya beli sesuai harga pasar, kalau mau dibayar bertahap tentukan berapa tahap bunda mampu, kalau semua kemungkinan itu Bunda tidak mampu, Bunda harus mengikhlaskan rumah itu dijual ke orang lain." Kata suamiku panjang lebar.

Aku terdiam berdiri dari tempat tidur lalu berjalan ke arah kaca jendela hotel, menatap ke luar...lampu-lampu penerang gelap malam sudah mulai menyala di rumah-rumah di sekitar hotel, ingatanku menjangkau rumah Bapak. Rumah yang sekarang kondisinya gelap gulita, karena hanya lampu teras yang menyala.

Sejak ibu tiada, aku sudah tidak pernah lagi tidur di rumah Bapak, bila aku harus datang ke kota ini, aku selalu tidur di hotel, rumah itu juga tidak ada yang mengurus, rusak karena tidak ada yang merawat.

Untuk urusan bayar listrik supaya rumah itu tidak gelap di malam hari, kakakku yang nomer dua yang selalu membayarnya, tidak banyak tagihan listriknya, karena hanya menyalakan lampu teras dan garasi, tapi itupun sejujurnya aku juga tidak pernah peduli.

Tadi waktu di rumah Bapak aku juga melihat pintu rumah tengah hampir roboh, mungkin benar kata suamiku dan mas serta mbak, mbakku, aku memang egois, aku ingin menguasai rumah itu demi kenanganku, padahal aku sendiri tidak pernah merawat kenangan itu.

Aku menghela nafas panjang, besok pagi akan aku telp masku sulungku dan akan aku sampaikan, aku setuju menjual rumah itu, kalau perlu pakai jasa properti supaya cepat laku, supaya rumah itu segera ada yang merawat dan memanfaatkannya daripada rusak tak berguna dan hasil penjualannnya pun bisa dimanfaatkan oleh saudara-saudaraku yang sudah sepuh.

Aku mau kembali merebahkan badanku di samping suamiku, ketika HP ku bergetar, nama mbak ku yang nomer 3 tertera di layar HP, aku mengangkatnya, belum sempat aku bilag hallo, kakakku sudah membuka suara duluan :"Mas Susilo sudah mendahului kita."

HPku jatuh di tempat tidur :"Inikah yang aku mau? mas dan mbak, mbakku pergi satu persatu dan tidak pernah bisa menikmati harta warisan Bapak?"

Aku menangis sejadi-jadinya menyesali semua tindakanku.

(Tamat)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun