Mohon tunggu...
Emil WE
Emil WE Mohon Tunggu... road and bridge engineer -

Seorang penikmat sastra, anggota forum diskusi sastra “Bengkel Imajinasi”, anggota Adventurers and Mountain Climbers (AMC 1969) Malang, kini tinggal di kampung kecil di Jawa Timur sehabis menekuni profesinya sebagai urban di Jakarta. Gemar menulis di alam bebas.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerpen: Perempuan di Atas Kereta

28 Desember 2010   22:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:17 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TUT ! TUUUUTTTTTTTT !!!!

JESSSZZZH !! JESSSZZ !! JESSS !! JES !!! JES !!!

Sial ! kereta sepi ! Mungkin karena arus balik, umpatku dalam hati

Dari ujung bordes, kulangkahkan kakiku memasuki gerbong. Menyibak-menyibak pemuda kampungan yang memilih nongkrong di tangga pintu daripada mencari tempat duduknya.

"permisi-permisi !" teriakku

Dasar bodoh !!, umpatku dalam hati

"bukankah bangku masih longgar ?" tanyaku keheranan

Huhh, beruntunglah aku. Dadaku lega. Akhirnya roda-roda besi melaju perlahan, beradu meneriakkan suara statis tak berpola kala meniti sepasang rel yang memanjang tak berujung.

JELETAK-JELETAK ! JELETAK-JELETAK ! TUT ! TUUUUTTTTTTTT !!!!

JELETAK-JELETAK ! JELETAK-JELETAK !

Seluruh jendela gerbong terbuka menelusup angin, meliuk-liuk, menggerai rambut dan menjamahi muka-muka kampungan yang tertawa-tawa sehabis singgah di ibukota Jakarta.

Pasar Senen dengan jutaan masalahnya ingin cepat-cepat kuhapus dari otakku. Aku muak. Perlahan-lahan menjauh, kutinggalkan bangunan klasik dan loko gerbong yang nampak kelelahan sehabis mengangkut penumpang. Kini, bedeng-bedeng kumuh seperti dangau reyot di tengah sawah kampungku berkelebat di seberang jendela. Hanya bedanya, dangau sawah kampungku menyirat keindahan, bukan ketidakmanusiawian.

Apalah arti hari ini, bagiku semua hari serasa sama. Kulewati ratusan malam di atas kereta yang lagi-lagi kutumpangi. Setelah bertahun-tahun menaiki kereta dengan jalur yang sama, kegerahan yang menancap di pikiranku mungkin telah menemui karatnya. Sepanjang jalan menjumpai pengemis yang sama. Di tiap titik mendapati pengasong yang sama.

"permisi, Pak"

Perempuan cantik berwajah layu mengalihkan pikiranku. Suaranya serak bergetar.

"silahkan-silahkan," kusibak kakiku menyingkir biar si cantik ini bisa duduk di dekatku, di pinggir jendela.

Lumayan. Perempuan bohai di depanku ini mengingatkanku jaman muda dulu, jaman ketika kugandrungi bintang film Liz Taylor. Rambutnya hitam tebal, tubuhnya meliuk terawat, rona wajahnya memancar kutub magnet yang hanya dimiliki kaum perempuan secantik kejora. Begitu kuat, begitu berdaya untuk sekedar dirasakan lelaki sepertiku. Tapi entahlah, wajahnya bernaung mendung. Ada duka yang hinggap hingga matanya berkilau air-mata. Jemarinya yang lentik sesekali menyeka kelopak matanya. Ah, kubuang pandanganku untuk sekedar bersimpati atas dukanya.

Laju kereta kian kencang. Bayang-bayang benda sesaat saja melintas di seberang jendela, seperti berlari. Gemeletak roda-roda besi yang menggilas sambungan rel terdengar ritmis harmoni. Berpadu teriakan pengasong yang menggurat urat leher sebesar kelingking.

"dipilih-dipilih, ayo dipilih, "

"lima rebu -lima rebu, ayo dipilih,"

"sayang anak, sayang istri, yang tetap ingin di sayang mertua, ayo cepat beli,"

Teriakan bersahut-sahut mirip kucing merayu betina. Bikin gatal telinga. Namun,

Ah, sial !! bayangan Pasar Senen muncul kembali. Aku muak !! Bayangan itu mengingatkanku dengan si Cimot, anak semang-ku. Dua hari lalu kepalanya pecah menghantam tiang listrik saat beroperasi di atas KRL. Entahlah, mungkin kakinya terpeleset. Atau,

Ah, aku tak ingin menduga-duga penyebabnya. Yang jelas nafasnya sudah pupus. Titik.

Namun yang menggusarkanku, kematiannya itu menyisakan urusan yang paling kubenci. Ketika semua rekan seprofesiku menudingkan telunjuknya kepadaku sebagai penyebab tak langsung kematian si Cimot, maka seketika itu aku dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab. Kau tahu apa yang kemudian terjadi ?, Emaknya melolong-lolong persis monyet disembelih. Perempuan peyot itu mendatangiku, memukul-mukul dadaku, mencabik-cabik mukaku, memaki-maki dengan bahasa yang paling kasar. Namun apalah dayaku, si Cimot yang sekarang sudah dicumbu cacing tak mungkin kukembalikan. Aku hanya diam teronggok membiarkan cakaran dan pukulan datang bertubi-tubi di dada dan mukaku.

Untunglah kereta berangkat tepat waktu. Aku cepat-cepat menyingkir setengah berlari meninggalkan perempuan peyot itu jatuh bangun mengejarku. Kutinggalkan Pasar Senen. Kutanggalkan pula rasa bersalahku saat memijak bordes kereta.

"tujuan kemana, Mbak ?" kualihkan pikiranku dengan berbasa-basi. Namun perempuan di depanku membisu.

Sesaat kuambil botol mineral yang masih tersegel dan kutaruh di papan kecil samping jendela. Semoga ia tertarik.

Ah, tidak. Aku tak ingin dia. Ingin kuambil lagi botol itu tapi .. ah biarlah dulu. Biar kunikmati obrolanku dengan si cantik ini. Sejenak tatapanku menyapu wajahnya. Aku tahu ia ingin berkata-kata.

"saya .. saya mau ke kampung, Pak" jawabnya lirih. Tatap matanya menautku. Masih terlihat sisa air mata yang berkilauan.

"kampungnya dimana ?" tanyaku lagi

"Cirebon, Pak"

"oh, di Cirebon. Masih cukup lama .. " sahutku menirukan.

"biasanya di Cikampek kereta ini diledek habis-habisan oleh kereta-kereta mahal. Tapi semoga kali ini tidak," lanjutku memecah kekikukan.

"kau tahu kawan-kawanku menjuluki kereta ini apa ?" tanyaku lagi. Perempuan itu menggeleng.

"kalau kita tujuannya ke Surabaya ada kereta mahal bernama Argo Bromo Anggrek, ke Jogja ada Argo Sindoro, ke Bandung ada Argo Gede, kecepatan larinya seperti setan kebelet kencing !! cepat sekali ! Cuma bermodal pantat nongkrong di atas kursi empuk .. mak wusshhh !! kita akan sampai di tempat tujuan. Tapi tiketnya memang selangit .. " ujarku mengakrabkan diri

"semua yang punya nama depan Argo adalah kereta spesial ! termasuk kereta ini ! tapi bedanya .. kereta ini masih murah," celetukku memancing penasaran

"kau tahu kereta ini Argo apa ?" tanyaku gemas dengan perempuan cantik ini. Lagi-lagi ia menggeleng.

"Argoloyo !! inilah kereta Argoloyo ! staminanya banci ! kebanyakan ngecer ! loyo-nya setengah mati. Masinisnya mungkin punya banyak istri simpanan, jadi dia harus berhenti tiap stasiun dan memborong oleh-oleh beraneka macam dari para pengasong,"

"Telor asin di Brebes, batik di Pekalongan, lumpia di Semarang, kue wingko di Babat, semua tempat pasti disinggahi, mungkin dia ketakutan dicakar istrinya bila pulang tak bawa oleh-oleh, PERANG DUNIA KETIGA !!" lanjutku melucu

Syukurlah, perempuan itu tersenyum walau dipaksakan.

"kalau boleh tahu .. ada urusan apa di Cirebon ?" pertanyaanku memaksanya memandangku.

"Cirebon itu kampung halaman saya, Pak"

"Oh, kampung halaman," aku berseloroh ringan. Kata-katanya mengingatkanku dengan pemuda kawan bicaraku dua hari lalu, di atas kereta ini, dia juga dari Cirebon.

"ke Cirebonnya nengok orang tua ?"

"Iya, Pak" sambil menjawab dialihkannya tatap mata ke luar jendela. Ia menerawang

"biasanya kalau gadis muda bersedih dalam perjalanan, pasti ada yang tak beres, akar masalahnya pasti pelik, tapi kebanyakan urusan cinta," kucoba lebih jauh mengakrabkan diri. Celetukku membuatnya mengalihkan tatapannya padaku.

"betul itu ?" tanyaku memastikan. Dan,

Aha ! ia pun mengangguk,

"Kenapa ? bertengkar dengan pacar ?"

"kalau masalah itu nggak usah dipikir, sebentar lagi dia pasti melata-lata memohon ampun. Orang cantik selalu di atas angin, hehehe" sambungku sambil tertawa kecil. Namun,

Ah, tatap matanya kian tajam memanahku. Aku sedikit bingung.

"apa mungkin Mbak mau menikah ? dan .. sedikit gamang barangkali," tanyaku sambil menyongsong tatap matanya. Aku berusaha lebih lembut. Dan,

Ah, lagi-lagi ia menggeleng. Pertanyaanku ditepisnya.

"saya memang mau menikah, Pak. Tapi .. tapi .."

Suaranya terhenti. Nafasnya mengalir lebih cepat. Seraya air matanya kembali berembun, ia terisak sambil sesekali jemarinya menyeka kelopak mata.

"kenapa ? ada yang salah dengan pertanyaanku ? maaf ya," potongku iba.

Beberapa lelaki dan perempuan di bangku seberang menghakimiku.

"Tunangan saya meninggal tadi pagi, Pak"

Meninggal ??! Sial ! umpatku dalam hati. Aku tersentak. Rupa-rupanya cerocosku dari tadi salah tempat.

"dia .. dia .. overdosis, Pak. Telat penanganan. Sebenarnya .. dia sudah kularang naik kereta ini .. tapi -"

"dia waktu itu .. dia .. dia dibius di kereta,"

Overdosis ? di kereta ? Cirebon ?!!!

Sial !! umpatku. Berarti pemuda Cirebon kemarin itu tunangannya. Ah, bukan ! semoga bukan dia ! semoga korban pembius lain ! bukan korbanku !

"maaf, Dik. Saya turut prihatin," mulutku tercekat. Serasa biji salak menyangkut di tenggorokan.

"Dia .. dia dibius di kereta ini, Pak. Seharusnya dia turun di Cirebon menyiapkan pernikahan kami,"

Bibirnya bergetaran menahan sesakan emosi.

"dia .. dia .. hilang kesadaran hingga ke Semarang, Pak. Ya Tuhaann .."

Punggung perempuan itu bergucangan. Ditahannya isakan tangis. Jemarinya yang lentik menudung wajahnya yang memerah.

Aku membeku. Mulutku terkunci. Tak terbayang selama ini aku telah mempermainkan hidup dan mati.

"saya naik kereta ini .. setidaknya .. berharap bisa ketemu penjahat itu, Pak. Bajingan itu,"

Setan !! umpatku. Dadaku bergetaran karena gentar

"setidaknya .. saya ingin ketemu bajingan itu, dan -"

"apa yang akan kamu lakukan seandainya bertemu dia ?" kuberanikan memotong kalimatnya.

Ah, goblok !! kenapa pertanyaan ini yang keluar dari bibirku ! Aku menelan ludah.

"entahlah. Mungkin saya sumpahi agar mati terhimpit gerbong,"

"terhimpit gerbong ??!!", mataku terbelalak mendengarnya.

"kepala gepeng, usus semburat, seperti tikus sawah digerebek pemburu hama," tatap matanya yang sebelumnya teduh berangsur menyala.

Setannn !! aku tersentak. Aku kelabakan.

"boleh saya minta air minumnya, Pak ?"

Sial !!! aku kebingungan mencerna kalimatnya. Aku kelimpungan. Tingkahku serupa anak ayam diintai alap-alap.

Tatap matanya menunggu. Aku membisu. Roda-roda kereta yang terpacu perlahan terasa kaku.

"Pak, boleh saya minta air minumnya ?"

Aku berdiri. Aku tak menyahuti. Kuambil botol air di papan jendela secepat-cepatnya. Aku pun melangkah pergi. Cepat. Cepat. Detak jantungku serasa mati. Laju kereta kian melambat, aku tahu sebentar lagi berhenti.

"Setan !! minggir kalian !!"

Kusibak-sibak pemuda kampungan yang nongkrong di tangga bordes. Secepat-cepatnya aku bersiap meloncat. Jlegg ! aku mendarat dengan sempurna. Untuk terakhir kali kutoleh perempuan di atas kereta itu. Tapi-

Setan betina !! rupa-rupanya ia terus memanahku dengan ribuan tanya. Kuayun langkahku cepat-cepat menuju peron stasiun. Kulintasi jalur-jalur kereta api. Jalur 3, jalur 2, hawa di sekelilingku serasa mati.

Prittt pritt priitttt !!! ....... HOI !! AWAS, PAK !! AWAS !!!

BRAKK !!!! SRRRAAAKKKK !!!

***

Penggalan berita harian Posindo, 01 Oktober 2009

"Sosok lelaki tak dikenal tewas mengenaskan dalam sebuah kecelakaan. Ia tertabrak kereta ekspress di jalur satu Stasiun Cikampek. Korban segera dibawa ke rumah sakit terdekat guna keperluan otopsi."

***

Mampang Prapatan, 14 Oktober 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun