Botol mineral aku teguk. Kutengok jam di tangan kananku, untuk memastikan keretaku kapan tiba. Ya, kini, aku tengah berada di stasiun Yogyakarta, hendak ke Jakarta, mengurus beberapa pekerjaan di sana.
Berada di stasiun saat menjelang senja seperti ini, aku jadi teringat akan cerita pendek Seno Gumira Ajidarma yang berjudul "Tujuan: Negeri Senja" itu.
Aku tersenyum kecil, membayangkan imajinasi para penulis yang terkadang mengada-ada.
Terkadang sempat bertanya juga, dari mana penulis-penulis itu mendapatkan ide sehingga berimajinasi liar seperti itu.
Tiba-tiba pengeras suara di stasiun berbunyi, seorang petugas memberitahukan bahwa kurang lebih setengah jam lagi keretaku akan dilansir. Sengaja aku datang lebih awal, aku ingin menikmati perjalanan kali ini, tidak mau terburu-buru.
Kupastikan semua barang-barangku sekali lagi, agar nanti tidak ketinggalan seperti waktu lalu. Sifat pelupa ini kadang begitu menyebalkan.
Masih menggantung rupanya dalam benak akan cerita pendek kereta senja pergi ke negeri senja yang tadi terbesit dalam pikiran. Aku jadi asyik masyuk membayangkan bagaimana kalau kereta senja dalam cerita pendek itu beneran ada, lalu dalam hati aku iseng berkata: 'kalau memang ada kereta seperti itu, senja ini aku akan naik. Tidak kembali juga tidak apa-apa! Ha-ha!'
Aku tertawa kecil, menertawakan pikiran konyolku sendiri.
"Kamu tidak percaya bahwa kereta senja ke negeri senja itu beneran ada?" Tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.
Kulirik asal suara, seorang lelaki paruh baya dengan penampilan nyentrik, itu kalau tidak mau dikatakan kuno, ketinggalan jaman. Ia memakai topi pet berwarna hitam yang sudah memudar warnanya.
Kupindai seluruh badannya, terkhusus kakinya. Masih menapak tanah. Berarti aman, bukan setan.