Namun, kenapa ia bisa tahu kalau aku tengah menertawakan kereta senja itu?
Belum rampung keherananku, bapak itu bersuara lagi, kali ini malah mendekat dan duduk di sampingku.
"Kereta itu ada, Nak. Itu bukan khayalan atau sekedar fiktif semata," ujarnya dengan suara tegas.
Aku mengucek mata beberapa saat, hanya demi memastikan bahwa sosok di sampingku ini benar-benar bukan makhluk jadi-jadian.
"Bapak siapa? Lalu, kenapa bisa tahu apa yang saya pikirkan?" tanyaku keheranan.
Bapak itu terkekeh untuk beberapa saat. Lalu berubah datar lagi seperti tadi.
"Tidak penting siapa aku, sebab sebentar lagi aku pun akan hilang dari dunia ini. Perkara kenapa aku tahu apa yang kau pikirkan, karena aku bisa membaca pikiran seseorang. Ini salah satu hal yang kata orang disebut anugrah, tetapi bagiku justru musibah."
"Jadi, bapak indigo?" tanyaku lagi.
"Kata orang-orang seperti itu. Bayangkan, aku bisa mendengar suara yang ada di pikiran semua orang di sekitarku. Tentang rasa bangga mereka, tersenyum manis di hadapan kekasihnya padahal ia memikirkan wanita lain, memikirkan tekanan dari atasan di kerjaan, hutang yang menggunung, dan masih banyak lagi. Kalau kata orang itu adalah anugerah, aku berkata bahwa itu musibah, sebab justru itu sangat menyiksaku." Bapak tua itu terus saja berbicara.
Aku masih terbengong-bengong macam sapi ompong.
"Jadi," lanjutkan lagi, "aku bisa mendengar apa yang kau tertawakan tadi. Tentang negeri senja yang kau anggap konyol itu."