Pagarnya tidak pernah di kunci. Sejak menginjakkan kaki di halaman rumah aku selalu memanggil nama Bu Dina. Berharap agar segera keluar dan aku tidak perlu masuk ke rumah itu.Â
"Bu Dina, ada titipan dari mamah,"
"Iya, masuk mbak."
"Permisi, Bu Dina." Ruang tamunya masih bergaya vintage. Orang kaya sejak lama. Â Bersih dan wangi. Hanya saja memang sepi.Â
"Eh, Mbak Hazel. Kok repot-repot, mbak?"
"Tidak, bu." Aku menyerahkan bingkisan itu. Aku ingin segera kabur.Â
"Kok ada piringnya juga? Saya cuci dulu, ya?"
"Tidak apa-apa, bu. Mamah bilang biar di sini dulu tidak apa-apa."
"Jangan, piring bagus ini. Tunggu dulu ya, saya cuci dulu."
Terpaksa aku menunggu di ruang tamu. Setelah Bu Dina pergi, udara menjadi sedikit panas. Tapi perasaanku semakin was-was. Tiba-tiba tercium aroma busuk. Apa ada tikus mati? Aku mencoba melihat sekitar. Bersih. Sampai aku merasa jantungku tiba-tiba berhenti saat aku bertatapan dengan pria tua yang sedang membuka pintu. Wajahnya benar-benar pucat. Apa dia keluarga Bu Dina?Â
"Ini mbak," Bu Dina menyerahkan piring yang sudah bersih. "Sampaikan terima kasih saya buat mamah Mbak Hazel, ya?"