"Jangan dimakan, mah!"Â
"Pak, kenapa to anakmu?" Mamah membiarkanku menyingkirkan lauk dari Bu Dina.Â
Aku menceritakan semua yang terjadi sore tadi di rumah Bu Dina. Meski terlihat mendengarkan dengan baik. Aku tahu bapak dan mamah ragu. Lebih tepatnya tidak percaya.
"Pokoknya, jangan dimakan. Aku buang saja."Â
Rantang itu aku bawa masuk ke kamar. Mamah pun sepertinya tidak masalah karena di dapur banyak makanan. Aku mengintip dari balik jendela kamar. Aku bisa melihat Bu Dina berjalan ke arah pagar rumah. Apa yang akan dia lakukan? Apa dia membawa senjata tajam? Aku yakin, Bu Dina dan suaminya bekerja sama. Â
Bu Dina kembali masuk ke halaman rumahnya. Yang membuatku semakin bergidik ngeri adalah wanita itu terus menari. Sesekali melompat. Seolah tanpa beban. Aku akan berjaga sampai besok pagi.Â
"Hazel, bangun!" Bentak mamah. "Sudah segede ini kok tidur di lantai. Ayo bangun, terus ke bawah ada banyak polisi di sana."
"Kenapa, mah? Mereka menemukan Pak Yuli masih hidup?"
"Ini anak kok bodohnya semakin hari semakin bertambah!"Â
Aku berlari ke bawah. Rumah Bu Dina sudah ramai. Dari bapak aku tahu bahwa Bu Dina bunuh diri. Ditemukan racun pada masakannya. Aku teringat rantang makanan. Polisi juga menemukan dua jasad yang dicor di kamar tamu, dan dipastikan itu adalah jasad Pak Yuli yang selama ini dilaporkan menghilang dan jasad seorang perempuan. Kedua lututku serasa melemas. Â Bu Dina adalah tersangka utama. Masalahnya adalah perselingkuhan dan kasus Pak Yuli yang memalukan. Bu Dina bahkan dibenci oleh keluarganya sendiri karena menikahi seorang koruptor. Bu Dina sakit hati dan menyelesaikannya sendiri.Â
"Rantang makanannya dimana?" Bapak terlihat panik. Aku menunjuk ke arah kamar. Aku melihat ke arah rumah Bu Dina. Ramai. Tapi tak seorang pun menyadari, Bu Dina dan Pak Yuli berdiri di jendela. Mungkin setelah ini aku harus terbiasa melihat pemandangan seperti ini.