Akh, kau pasti tahu itu. Betapa sakit, perih hati ini seperti ditusuk sembilu. Dan aku tidak perlu lagi mencontohkannya padamu.
Pria itu telah meminangku sepuluh tahun yang lalu semenjak aku meninggalkan dunia putih abu-abu, dunia dimana aku beranjak remaja. Ayah telah menyetujuinya sebelum aku melihatnya. Bagi seorang remaja sepertiku, tak semudah itu menerima cinta hanya karena ayah. Tetapi aku telah terbiasa mendapat aturan yang memaksa aku untuk tunduk kepada ayah, itu bak ultimatum bagiku.
Aku tidak mengada-ada. Ayah terlalu protektif padaku. Ia melarangku berteman dengan pria bahkan ia melotot saat pria itu berpapasan denganku dan bertanya “apa kabar”? Salahkukah? Ia menghajarku dengan ranting kayu lamtoro saat aku ketahuan bermain kasti dengan anak-anak di kampung.
Ia melarangku menonton film layar tancap di desa. Katanya nanti aku dibawa lari oleh tukang ojeklah, pria nakallah, diculiklah. Ia harus tahu siapa pria yang mengunjungiku semalam, untuk apa, anak siapa, suku apa. Itu melelahkan memiliki ayah seperti itu.
Sampai akhirnya Gaspar, pria yang disetujui ayah, membawaku kerumah ayahnya setelah semua urusan dengan ayahku dan keluargaku selesai. Ia telah menjadi suamiku. Aku masih muda, belum sempat berpacaran tapi aku telah menikah. Tidur dengan pria. Mengejutkan.
Aku terbiasa tidur dengan ibuku. Dengan kakakku yang cantik, berambut panjang, ia disukai banyak pria. Kami sering berbagi cerita, tentang pria idaman kami, dan tentang ayah. Ayah tentu tidak perduli dengan pria idaman. Aku tidak pernah tidur bersama ayah sejak kecil.
“Sudahlah, terima pria pilihan ayahmu. Kau tahu bagaimana kerasnya ayahmu?.” kata nenek menenangkan hatiku.
Sejak kecil, aku takut bertemu ayah, entah sungkan aku tidak tahu. Aku masih polos. Yang kutahu ayah berwajah pemarah yang membuat saudara-saudaraku beranjak hanya ketika ayah menatap kami dan menggaruk kepalanya.
Apakah menurutmu akan menimbulkan trauma? Tentu saja benar. Dua puluh tahun hidup bersama ayah. Aku dibayang-bayangi ketakutan yang tak terdeteksi. Ketika aku dan sepupu-sepupuku sepakat untuk ikut lomba tari di kota, ayah menanyaiku apa yang kami dapatkan dari tari. Ketika pria yang mencintaiku datang berkunjung ke rumah, ayah mengintimidasiku dengan berbagai pertanyaan yang membuatku akhirnya memutuskannya dengan alasan aku alergi dengan pria.
“Omong kosong” kata pria itu.
“Aku benar”
“Gadis cantik seperti kamu tak bisa berbohong.
“Aku tidak berbohong”
“Aku tahu bagaimana pria-pria itu mengejarmu, ingin mendapatkan cintamu. Aku salah satunya”. Akunya.
Meskipun kenangan pahit itu menjadi mimpi burukku, aku tidak mau menjadikan itu alasan aku benci kepada ayah. Walau sakit saat mengingat ketika tidak pernah menikmati masa remajaku seindah aku dibawah naungan bulan purnama, namun aku akui ayahku baik. Ia mengasihiku, menyekolahkanku, dan menyediakan makanan saat ibu sedang sakit. Sekarang aku merindukannya, aku merindukan pelukan ibuku juga.
Aku telah memiliki keluarga baru, suamiku dan tiga anak kami. Yanna, Naldo, Imna. Bukan nama yang kumau. Nenekku yang memberi nama-nama itu. Nama-nama impiannya dulu. Aku tidak dapat menolaknya.
Sembilan tahun menikah. Bukanlah usia yang muda. Memasuki tahun ke-sepuluh seiring dengan lahirnya anak ketiga kami, Imna, suamiku diserang penyakit yang memedihkan. Kau pasti bisa membayangkan, tubuhnya yang kurus itu terserang virus Tuberculoses (TBC) tulang, virus yang kejam menembus tulang-tulangnya yang pipih, akupun menangis karenanya. Tetapi ia pria yang kuat tidak sebanding dengan tubuhnya.
“Hampir sepuluh tahun bersamamu adalah kebahagiaan yang takkan terlupakan bahkan sampai di akhirat”
“Akh, bagaimana mungkin kau bahagia sementara di usia pernikahan kita, kau malah terserang virus” kataku mengeluh.
“Kau wanita yang kuat, tulangku akan kuat saat melihat senyummu”.
“Tapi...
“Jangan kau risaukan aku” kata suamiku menguatkanku.
Benar. Bukannya dia yang kukuatkan, malah aku yang diberi penguatan. Tapi itulah istimewa suami pilihan ayahku. Tak seoranpun tahu hari dimana nyawanya akan diambil Sang Pencipta. Seberapa hebat dirimu, seberapa kuat tulang-tulangmu, seberapa besar otot-ototmu, kau pada akhirnya akan kembali menjadi debu. Aku tidak bercanda. Kau akan tahu waktu kau mati nanti.
“Jangan pernah menyesali ini. Aku mencintaimu. Cinta itu telah tumbuh seiring aku melihat dirimu. Meskipun aku tak ada lagi, cinta tak pernah mati”
“Apakah kau akan pergi? Sungguh?”
“Cinta itu kian tumbuh dan kian bersemi saat kita memiliki tiga pahlawan”
“Kenapa kau bicara seperti itu?”
“Bukan hanya karena itu, tapi kaulah segalanya bagiku. Aku telah melihatnya hampir sepuluh tahun ini, kau telah menguatkan tulang-tulangku”.
“Maksudmu apa? Kau tidak akan meninggal ‘kan?” tanyaku penasaran.
“Kau tahu” katanya tanpa menghiraukan pertanyaanku. “Virus ini sudah menggerogotiku sejak aku masih duduk di bangku SMA. Itulah sebabnya pamanku menjodohkan aku dengan engkau. Kau tahu? Ia bilang padaku bahwa engkau bisa menerimaku apa adanya, dan aku telah merasakan selama tahun-tahun pernikahan kita”
Airmataku tak dapat kubendung lagi. Aku terdiam menatap wajahnya yang masih lugu seperti dulu, parasnya yang manis namun tulang-tulangnya telah keropos dimakan oleh virus-virus jahat. Pikiranku tak bisa diajak kompromi. Sementara ia terus melanjutkan ceritanya.
“Andaikan kau tahu itu, kau takkan memilih aku menjadi suamimu. Bagaimana mungkin seorang gadis cantik sepertimu akan bersuamikan pria keropos. Tapi aku telah belajar selama ini, bahwa andaikan kaupun tahu sejak awal, tak ada dalam pikiranmu tentang lemahnya aku”.
“Jandakah sebutanku setelah ayah memilihkan kau untukku? Seharusnya kau menikah dengan ayahku dan aku menikah dengan pamanmu” keluh kesahku tak terbendung.
Memang aku tak bisa menyangkali bahwa banyak pria mendekatiku, lebih tepatnya mendekati ayah untuk mendapatkan cintaku. Dan aku memaksa diriku untuk menjadi gadis yang tidak mudah jatuh cinta. Aku takut jika cinta mereka bertepuk sebelah tangan, karena itu aku memilih diam.
Sejak hari bahagiaku menginjak usia sepuluh tahun pernikahanku dia membuatku sedih sebelum waktunya, terharu dan tentu saja aku makin cinta padanya. Kalau saja ia tidak sakit mungkin dia akan menemaniku setiap sore mengelilingi kampung, menghirup udara segar, dan anak-anak kami biasanya ikut dari belakang, dengan langkah-langkah kecil mereka. Aku bahagia dengan keluarga kecilku.
“Apa maksudmu aku menikah dengan ayahmu?”
“Aku tidak menginginkan pernikahan ini.”
“Tapi aku sudah cukup dengan melihat 3 pahlawan kita”
“Seharusnya hari ini aku sudah bekerja di perusahaan impianku, andaikan saja kau tidak pernah mengenal ayahku. Aku benci dengan Ayah, juga kau.”
Nafas suaminya terengah-engah dalam kesakitannya. Aku ingin menuangkan segala kekesalanku selama ini. Sepuluh tahun aku menahannya. Aku ingin memberontak pergi mengejar mimpiku dulu.
“Bahagialah dengan 3 anak kita. Aku mencintaimu bagaimanapun dirimu adanya.” Suamiku terbata-bata mengucapkan kata-kata terakhirnya. Ia menghembuskan nafasnya sementara seluruh kalimat yang kupikirkan tak pernah didengarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H