“Gadis cantik seperti kamu tak bisa berbohong.
“Aku tidak berbohong”
“Aku tahu bagaimana pria-pria itu mengejarmu, ingin mendapatkan cintamu. Aku salah satunya”. Akunya.
Meskipun kenangan pahit itu menjadi mimpi burukku, aku tidak mau menjadikan itu alasan aku benci kepada ayah. Walau sakit saat mengingat ketika tidak pernah menikmati masa remajaku seindah aku dibawah naungan bulan purnama, namun aku akui ayahku baik. Ia mengasihiku, menyekolahkanku, dan menyediakan makanan saat ibu sedang sakit. Sekarang aku merindukannya, aku merindukan pelukan ibuku juga.
Aku telah memiliki keluarga baru, suamiku dan tiga anak kami. Yanna, Naldo, Imna. Bukan nama yang kumau. Nenekku yang memberi nama-nama itu. Nama-nama impiannya dulu. Aku tidak dapat menolaknya.
Sembilan tahun menikah. Bukanlah usia yang muda. Memasuki tahun ke-sepuluh seiring dengan lahirnya anak ketiga kami, Imna, suamiku diserang penyakit yang memedihkan. Kau pasti bisa membayangkan, tubuhnya yang kurus itu terserang virus Tuberculoses (TBC) tulang, virus yang kejam menembus tulang-tulangnya yang pipih, akupun menangis karenanya. Tetapi ia pria yang kuat tidak sebanding dengan tubuhnya.
“Hampir sepuluh tahun bersamamu adalah kebahagiaan yang takkan terlupakan bahkan sampai di akhirat”
“Akh, bagaimana mungkin kau bahagia sementara di usia pernikahan kita, kau malah terserang virus” kataku mengeluh.
“Kau wanita yang kuat, tulangku akan kuat saat melihat senyummu”.
“Tapi...
“Jangan kau risaukan aku” kata suamiku menguatkanku.