Benar. Bukannya dia yang kukuatkan, malah aku yang diberi penguatan. Tapi itulah istimewa suami pilihan ayahku. Tak seoranpun tahu hari dimana nyawanya akan diambil Sang Pencipta. Seberapa hebat dirimu, seberapa kuat tulang-tulangmu, seberapa besar otot-ototmu, kau pada akhirnya akan kembali menjadi debu. Aku tidak bercanda. Kau akan tahu waktu kau mati nanti.
“Jangan pernah menyesali ini. Aku mencintaimu. Cinta itu telah tumbuh seiring aku melihat dirimu. Meskipun aku tak ada lagi, cinta tak pernah mati”
“Apakah kau akan pergi? Sungguh?”
“Cinta itu kian tumbuh dan kian bersemi saat kita memiliki tiga pahlawan”
“Kenapa kau bicara seperti itu?”
“Bukan hanya karena itu, tapi kaulah segalanya bagiku. Aku telah melihatnya hampir sepuluh tahun ini, kau telah menguatkan tulang-tulangku”.
“Maksudmu apa? Kau tidak akan meninggal ‘kan?” tanyaku penasaran.
“Kau tahu” katanya tanpa menghiraukan pertanyaanku. “Virus ini sudah menggerogotiku sejak aku masih duduk di bangku SMA. Itulah sebabnya pamanku menjodohkan aku dengan engkau. Kau tahu? Ia bilang padaku bahwa engkau bisa menerimaku apa adanya, dan aku telah merasakan selama tahun-tahun pernikahan kita”
Airmataku tak dapat kubendung lagi. Aku terdiam menatap wajahnya yang masih lugu seperti dulu, parasnya yang manis namun tulang-tulangnya telah keropos dimakan oleh virus-virus jahat. Pikiranku tak bisa diajak kompromi. Sementara ia terus melanjutkan ceritanya.
“Andaikan kau tahu itu, kau takkan memilih aku menjadi suamimu. Bagaimana mungkin seorang gadis cantik sepertimu akan bersuamikan pria keropos. Tapi aku telah belajar selama ini, bahwa andaikan kaupun tahu sejak awal, tak ada dalam pikiranmu tentang lemahnya aku”.
“Jandakah sebutanku setelah ayah memilihkan kau untukku? Seharusnya kau menikah dengan ayahku dan aku menikah dengan pamanmu” keluh kesahku tak terbendung.