Memang aku tak bisa menyangkali bahwa banyak pria mendekatiku, lebih tepatnya mendekati ayah untuk mendapatkan cintaku. Dan aku memaksa diriku untuk menjadi gadis yang tidak mudah jatuh cinta. Aku takut jika cinta mereka bertepuk sebelah tangan, karena itu aku memilih diam.
Sejak hari bahagiaku menginjak usia sepuluh tahun pernikahanku dia membuatku sedih sebelum waktunya, terharu dan tentu saja aku makin cinta padanya. Kalau saja ia tidak sakit mungkin dia akan menemaniku setiap sore mengelilingi kampung, menghirup udara segar, dan anak-anak kami biasanya ikut dari belakang, dengan langkah-langkah kecil mereka. Aku bahagia dengan keluarga kecilku.
“Apa maksudmu aku menikah dengan ayahmu?”
“Aku tidak menginginkan pernikahan ini.”
“Tapi aku sudah cukup dengan melihat 3 pahlawan kita”
“Seharusnya hari ini aku sudah bekerja di perusahaan impianku, andaikan saja kau tidak pernah mengenal ayahku. Aku benci dengan Ayah, juga kau.”
Nafas suaminya terengah-engah dalam kesakitannya. Aku ingin menuangkan segala kekesalanku selama ini. Sepuluh tahun aku menahannya. Aku ingin memberontak pergi mengejar mimpiku dulu.
“Bahagialah dengan 3 anak kita. Aku mencintaimu bagaimanapun dirimu adanya.” Suamiku terbata-bata mengucapkan kata-kata terakhirnya. Ia menghembuskan nafasnya sementara seluruh kalimat yang kupikirkan tak pernah didengarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H