Mohon tunggu...
El Sanoebari
El Sanoebari Mohon Tunggu... Penulis - Salah satu penulis antologi buku "Dari Pegunungan Karmel Hingga Lautan Hindia".

Menyukai pekerjaan literasi & kopi | Suka buku filsafat, konseling dan Novel | Jika harus memilih 2 hal saat jenuh saya akan makan banyak dan traveling | Suka belajar hal yang baru | Saya suka berpikir random, demikian dalam menulis | Imajinatif | Saya suka menulis Puisi dan cerpen sejak SD, yang terkubur di dalam laptop | Bergabung menjadi kompasianer merupakan tantangan yang menyenangkan | Saya suka segala hal yang menantang | Cukup ya, terlalu banyak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jadilah Pahlawan Saat Kematianku

10 November 2022   18:10 Diperbarui: 12 November 2022   09:35 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang aku tak bisa menyangkali bahwa banyak pria mendekatiku, lebih tepatnya mendekati ayah untuk mendapatkan cintaku. Dan aku memaksa diriku untuk menjadi gadis yang tidak mudah jatuh cinta. Aku takut jika cinta mereka bertepuk sebelah tangan, karena itu aku memilih diam.

Sejak hari bahagiaku menginjak usia sepuluh tahun pernikahanku dia membuatku sedih sebelum waktunya, terharu dan tentu saja aku makin cinta padanya. Kalau saja ia tidak sakit mungkin dia akan menemaniku setiap sore mengelilingi kampung, menghirup udara segar, dan anak-anak kami biasanya ikut dari belakang, dengan langkah-langkah kecil mereka. Aku bahagia dengan keluarga kecilku.

“Apa maksudmu aku menikah dengan ayahmu?”

“Aku tidak menginginkan pernikahan ini.”

“Tapi aku sudah cukup dengan melihat 3 pahlawan kita”

“Seharusnya hari ini aku sudah bekerja di perusahaan impianku, andaikan saja kau tidak pernah mengenal ayahku. Aku benci dengan Ayah, juga kau.”

Nafas suaminya terengah-engah dalam kesakitannya. Aku ingin menuangkan segala kekesalanku selama ini. Sepuluh tahun aku menahannya. Aku ingin memberontak pergi mengejar mimpiku dulu.

“Bahagialah dengan 3 anak kita. Aku mencintaimu bagaimanapun dirimu adanya.” Suamiku terbata-bata mengucapkan kata-kata terakhirnya. Ia menghembuskan nafasnya sementara seluruh kalimat yang kupikirkan tak pernah didengarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun