Mohon tunggu...
ELPIDA YANTI
ELPIDA YANTI Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menulis adalah salah satu cara mengungkapkan isi hati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Warisan

18 Maret 2023   22:14 Diperbarui: 18 Maret 2023   22:19 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Baik, Kak. Aku akan segera pulang." 

Ku matikan telpon dari kakak perempuanku di kampung. Dia mengatakan bahwa Ibu sakit parah. Dan dalam keadaan tidak sadarkan diri saat ini. Kegundahan melanda jiwaku. Aku bimbang untuk pulang. Bukan karena aku tak sayang sama Ibu, tetapi karena saudara-saudaraku seperti tak menerima kehadiranku di samping Ibu.

Telah lama aku tak pernah menjejakkan kaki di kampung halaman. Aku lebih memilih merantau dan mencari hidup dengan cara berdagang. Ku rintis usaha dagangku mulai dari kaki lima, saat ini aku telah memiliki beberapa toko. Alhamdulillah, aku mampu mengembangkan usaha tanpa harus meminta dan bergantung dari orang tua. Aku sudah terbiasa hidup sendiri. 

Aku tak menyesali apapun yang pernah terjadi kepadaku. Kalaupun terkadang aku di sepelekan dan tidak dianggap, tapi bagiku itu biasa. Aku memaafkan mereka yang dulu meragukanku dan mengejekku. Aku sudah terbiasa, ditempa oleh hinaan, cacian bahkan pujian yang menyesatkan. Kini pada akhirnya mereka baru mengakui aku sebagai saudaranya.

Satu hal yang membuat aku bertahan selama ini adalah Ibu. Setiap kali aku mendengar suara Ibu di telpon, aku akan segera bersemangat. Ibu bagaiakan jantungku, yang akan berdetak jika aku mendengarkan berita bahwa Ibu sehat dan bahagia. Dan aku takkan bisa melakukan apapun jika aku mendengar Ibu dalam keadaan sakit atau sedih. Ah..., betapa Ibu adalah segalanya bagiku. Aku tersenyum mengingat Ibu. 

Tiba-tiba aku merasa sedih. Tak terasa air mataku menetes. Aku teringat Ibu yang saat ini terbaring di rumah sakit. Pedih hatiku. Tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Saat ini yang kufikirkan adalah bagaimana aku harus segera sampai di kampung. Aku tak lagi berfikir bagaimana nanti sikap kakak-kakakku menerima kehadiranku. Begitu dapat tiket pesawat, aku langsung berangkat. Tak sabar untuk segera menemui Ibu. Tak terhitung air mata menetes di pipiku mengingat kondisi Ibu saat ini. Meskipun aku lelaki, tetapi aku tidak malu meneteskan air mata. 

Sesampainya di kampung, aku langsung menuju rumah sakit tempat Ibu dirawat. Begitu aku datang, kakak laki-lakiku pulang dan tinggallah aku sendiri. Hatiku menjerit. Ibu yang selalu hangat menyambutku sebelumnya kini hanya terbaring lemah, diam dan matanya terpejam. Ada selang makanan yang terpasang di hidungnya.  Beberapa alat menempel di dada dan terhubung ke monitor. Bunyi alat monitor ICU itu menimbulkan denyut di kepalaku. Seketika aku merasa lemas dan terduduk di bangku panjang yang ada di lorong rumah sakit. 

'Ibu...., pasti Ibu kesakitan sekarang. Aku rela menggantikan sakitmu, Bu. Asal Ibu sehat kembali.Bangunlah, Bu. Anakmu sudah pulang.'  

Aku tertunduk. Yang bisa kulakukan hanya merapal doa, berharap Ibu membuka mata dan tersenyum menyambut aku pulang. Tetapi Ibu diam saja. Hanya dadanya yang naik turun yang menandakan bahwa Ibu masih bernafas. Setelah dokter mengijinkan aku masuk, ku pegang dan kucium tangan Ibu. Ku usap kepalanya yang telah putih sempurna oleh uban, menandakan Ibu telah lama mengenyam garam kehidupan. Sekilas kucium keningnya dan kubisikkan kata, 'Bu..., aku pulang. Aku kangen sama Ibu. Maafkan anakmu, Bu. Baru sempat menemuimu setelah sekian lama pergi.'

Kurasakan tangan Ibu bergerak di genggamanku. Aku tersenyum haru, kala mata tua itu terbuka. Masih nanar memang. Ku panggil Ibu dengan lembut. Mata tuanya bergerak, menoleh kearahku. Ada bulir air mata mengalir di sana. Aku merasakan kerinduan Ibu kepadaku. Begitupun dengannku.

"Terima kasih Bu, terima kasih Ibu sudah bangun untukku. Aku pulang menemuimu, Bu. Aku kangen sama Ibu."

Air mataku mengalir deras. Aku merasakan tangan keriput Ibu bergerak, seakan ingin mengusap kepalaku, tetapi tak berdaya. Ku genggam tangan itu semakin erat. Kuciumi sepuas hati. 

Tak lama dokter datang dan memeriksa kondisi Ibu. Setelah itu dokter memberi isyarat kepadaku untuk berbicara di luar. Aku menganggugk dan beranjak meninggalkan Ibu sebentar.

"Ibu, aku keluar dulu sebentar, ya." 

Tak ada jawaban memang, tetapi aku yakin Ibu mengijinkanku, karena genggaman tanganku dilepaskan Ibu. Di luar, dokter sudah menunggu dan menerangkan kondisi Ibu kepadaku.

"Anda anak Bu Sumi?" tanya dokter.

"Iya, Dok. Bagiamana kondisi Ibu saya, Dok?" 

"Syukurlah sekarang Ibu anda sudah sadar, tetapi kondisinya masih lemah dan belum stabil. Maaf kami tidak bisa berbuat banyak untuk Ibu anda." Dokter mengusap bahuku. Dan berlalu.

Aku tercenung mendengar pernyataan dokter. Apa maksudnya? Tak mau terlalu memikirkan pernyataan dokter, aku kembali ke dalam ruang ICU. Mendengar aku datang, Ibu kembali membuka mata. DIa menatapku lama. Bibirnya seakan mau bicara tetapi sepertinya tak bisa digerakkan. Aku hanya bisa tersenyum kearah Ibu.

"Ibu jangan banyak gerak ya, istirahat saja dulu, biar Ibu cepat sembuh. Nanti kalau Ibu sudah sembuh kita akan bicara banyak, ya?!" 

Kuusap rambut Ibu dengan lembut. Ibu hanya menjawab dengan anggukan lemah. 

TIba-tiba tangan Ibu kembali menggapai tanganku dan menggenggam dengan erat sekali. Seolah tak mau aku pergi jauh. Nafas Ibu tiba-tiba sesak. Matanya menatap nanar langit-langit kamar. Aku jadi panik. Kupanggil Ibu berkali-kali. Aku jadi ingat perkataan dokter tadi. 

"Ibu, jika Ibu ingin kembali kepada Allah, pergilah, Bu. Aku ikhlas melepas kepergian Ibu. Aku akan tuntun Ibu." Air mataku mulai tumpah lagi. 

Dengan perlahan kutuntun Ibu mengucap dua kalimah syahadat. Bibir Ibu bergerak perlahan, meskipun suara lirih Ibu tidak begitu jelas, aku yakin Ibu mengikutiku. Sampai akhirnya, mata Ibu tertutup dan bibir Ibu berhenti bergerak. Genggaman tangan Ibu juga mengendur. Aku terdiam. 

'Selamat jalan, Ibu. Aku sangat menyayangimu, tetapi Allah lebih sayang kepadamu. Maafkan anakmu yang belum membalas jasamu, Ibu.'

Kucium kening Ibu agak lama. Air mata sungguh tak bisa lagi ku bendung. Ku peluk tubuh Ibu yang tidak lagi bergerak, sebagai pelukan terakhir. Setelah  itu, kuusap air mataku dan kupanggil dokter. Setelah ibu dinyatakan meninggal dunia oleh dokter, ku urus semua dokumen untuk membawa ibu pulang dan ku kabari kakak-kakakku. Malam itu jenazah ibu dibawa pulang ke rumah. 

Pemakaman ibu dilaksanakan esoknya, secepat mungkin. Karena tidak ada lagi yang ditunggu. Kami anak-anak Ibu yang laki-lakiku turut dalam serta melaksanakan pemakaman Ibu. 

Sehari setelah pemakaman selesai, ponselku berbunyi. Sebuah nomor tak dikenal. Tapi ku angkat juga telepon itu. 

"Assalam'alaikum...., bisa bicara dengan saudara David? " Suara di seberang sana terdengar. 

"Iya, saya sendiri. "

"Nama saya Subhan, saya notaris yang dipercaya Ibu saudara dalam membuat surat wasiat. Saya turut berduka cita atas berpulangnya ibu saudara."

"Terima kasih, Pak."

"Bisakah saudara dan kakak-kakak saudara datang ke kantor saya?"

"Ok... Bisa, Pak." 

Setelah mendapatkan alamat notaris dan aku memberitahukan berita tersebut kepada kakak-kakakku, kami berangkat bersama ke kantor notaris. Disana kami semua diberitahukan tentang pembagian harta warisan Ibu. 

"Terima kasih saudara-saudara sudah memenuhi undangan saya. Saya mau menyampaikan pembagian warisan dari almarhumah ibu saudara."

Dalam pembagian warisan tersebut ibu memberikan rumah yang saat ini ditempati kepada kakak perempuan ku, Nisa. Sedangkan sebidang sawah diberikan kepada kakak laki-lakiku Rudi. Sedangkan aku diberi warisan oleh Ibu berupa logam mulia seberat 100gr. Tetapi kakak-kakakku tidak terima. 

"Apa?  Tidak mungkin dia mendapat semua emas simpanan Ibu. Sedangkan aku hanya mendapatkan rumah tua ini. Ini tidak adil." Kakak perempuan ku meradang. 

"Apalagi aku yang hanya dapat sebidang sawah, apa yang bisa kudapatkan dari sawah itu?" Kak Rudi menimpali. Semua membenciku. Mereka beranggapan aku tidak berhak untuk mendapatkan apa yang diberikan Ibu untukku.

"Pak notaris, tolong anda bicara jujur, mana mungkin seorang anak pungut mendapatkan warisan dan lebih daripada kami anak kandungnya. Ibu pasti sudah gila mengambil keputusan itu." Kak Nisa berapi-api bicara, seakan memang aku tak berhak. 

Aku kaget bukan main, saat Kak Nisa mengatakan bahwa aku bukan anak kandung Ibu. Lalu siapa orang tuaku? Rasa kaget itu membuatku tak mampu untuk membalas semua perkataan kakak-kakakku. Aku terdiam.

"Baiklah, saudara Nisa dan Rudi mungkin tidak percaya, tetapi surat wasiat ini ditulis oleh Ibu anda sendiri. Silahkan anda periksa dan di sanan ada materainya juga. Mengenai saudara David, beliau meninggalkan sepucuk surat untuk anda." Pak  Subhan menyerahkan sebuah amplop putih kepadaku. Dengan hati berdebar dan tangan gemetar kubuka surat dari Ibu.

"Untuk anakku David. Sudah saatnya Ibu memberitahukanmu siapa dirimu yang sebenarnya, Nak. Maafkan Ibu jika selama ini tidak pernah membuka rahasia ini kepadamu. Karena Ibu sangat menyayangimu dan Ibu takut engkau akan pergi meninggalkan Ibu. Tetapi bagaimanapun, kau harus tahu siapa dirimu sebenarnya. Ibu kandungmu bernama Mira. Dia meninggal waktu melahirkanmu dan ayahmu Syukron menitipkanmu kepada Ibu saat pergi bekerja. Tetapi beberapa bulan kemudian ayahmu juga menyusul Ibumu. Sejak itulah kamu Ibu asuh sepenuhnya. Walau demikian, Ibu sangat menyayangimu, Nak. Logam mulia yang Ibu bagikan kepadamu sebenarnya bukanlah harta warisan, tetapi uang yang engkau kirimkan kepada Ibu yang kemudian Ibu belikan emas dan Ibu simpan untukmu. KArena Ibu tahu, kamu bekerja keras untuk mendapatkan uang itu. Itu adalah hakmu, Nak. Terimalah. Salam sayang dari Ibu."

 

Airmataku mengalir deras membaca surat dari Ibu. Tak pernah kusangka selama ini bahwa aku hanyalah anak angkat. Pantas saja kakak-kakakku tak menyukaiku, bahkan membenciku. Mereka bahkana tidak bisa menerima jika logam mulia yang ditinggalkan Ibu adalah bagianku. Mereka benar-benar membenciku. Tetapi yang membuatku marah adakah saat mereka bilang Ibu sudah gila.

"Kak, teganya kalian bilang Ibu gila? Anak macam apa kalian ini?"

"Diam kau! Aku tidak bisa menerima semua ini. Kamilah yang berhak  menerima warisan dari Ibu, karena kami anak kandungnya. Sedangkan kau bukan siapa-siapa!" Kak Rudi bicara keras dan menghujamkan telunjuknya di dadaku. 

"Ibu sudah gila. Ibu tidak adil. Apa yang kau lakukan untuk memepengaruhi Ibu?! Kau kurang ajar!" Kak Nisa semakin meradang.

"Tenang Saudara Rudi dan Nisa. Anda tidak bisa merampas hak saudara David karena ini legal. Dokumennya lengkap. Anda tidak bisa menolak surat wasiat ini." 

Dengan marah mereka berdua meninggalkan ruang notaris. Aku hanya bisa menghela nafas. 'Ibu... mengapa saat engkau tiadapun mereka tidak sedikitpun menghargaimu?'

"Saudara David, ini adalah dokumen penyimpanan logam mulia Ibu anda, sudah bisa anda ambil. Silahkan ditandatangani serah terima dokumen ini."

"Terima kasih, Pak." Kamipun berjabat tangan, dan kutinggalkan kantor notaris. Aku pulang ke rumah Ibu yang di wariskan kepada Kak Nisa, tetapi baru saja aku sampai, Kak Nisa sudah menyambutku dengan sumpah serapah yang tak patut dan tak pernah diajarkan Ibu sebelumnya kepada kami. Bahkan dia mencampakkan semua barang-barang bawaanku dan mengusirku dari rumah. Dia berteriak bahwa aku yang merampas harta warisan yang seharusnya hak mereka.

Betapa sedih hatiku menghadapi penolakan dari kedua kakakku yang tak pernah kuanggap sebagai saudara angkat. Tetapi bagi mereka aku hanyalah seorang anak pungut dan perampas warisan. Ku tinggalkan kampung halaman yang penuh kenangan sejak aku kecil. Namun, kubawa semua kenangan terutama bersama Ayah dan Ibu yang telah mengasuh dan membesarkan aku dengan kasih sayang.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun