Mohon tunggu...
ELPIDA YANTI
ELPIDA YANTI Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menulis adalah salah satu cara mengungkapkan isi hati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Warisan

18 Maret 2023   22:14 Diperbarui: 18 Maret 2023   22:19 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Airmataku mengalir deras membaca surat dari Ibu. Tak pernah kusangka selama ini bahwa aku hanyalah anak angkat. Pantas saja kakak-kakakku tak menyukaiku, bahkan membenciku. Mereka bahkana tidak bisa menerima jika logam mulia yang ditinggalkan Ibu adalah bagianku. Mereka benar-benar membenciku. Tetapi yang membuatku marah adakah saat mereka bilang Ibu sudah gila.

"Kak, teganya kalian bilang Ibu gila? Anak macam apa kalian ini?"

"Diam kau! Aku tidak bisa menerima semua ini. Kamilah yang berhak  menerima warisan dari Ibu, karena kami anak kandungnya. Sedangkan kau bukan siapa-siapa!" Kak Rudi bicara keras dan menghujamkan telunjuknya di dadaku. 

"Ibu sudah gila. Ibu tidak adil. Apa yang kau lakukan untuk memepengaruhi Ibu?! Kau kurang ajar!" Kak Nisa semakin meradang.

"Tenang Saudara Rudi dan Nisa. Anda tidak bisa merampas hak saudara David karena ini legal. Dokumennya lengkap. Anda tidak bisa menolak surat wasiat ini." 

Dengan marah mereka berdua meninggalkan ruang notaris. Aku hanya bisa menghela nafas. 'Ibu... mengapa saat engkau tiadapun mereka tidak sedikitpun menghargaimu?'

"Saudara David, ini adalah dokumen penyimpanan logam mulia Ibu anda, sudah bisa anda ambil. Silahkan ditandatangani serah terima dokumen ini."

"Terima kasih, Pak." Kamipun berjabat tangan, dan kutinggalkan kantor notaris. Aku pulang ke rumah Ibu yang di wariskan kepada Kak Nisa, tetapi baru saja aku sampai, Kak Nisa sudah menyambutku dengan sumpah serapah yang tak patut dan tak pernah diajarkan Ibu sebelumnya kepada kami. Bahkan dia mencampakkan semua barang-barang bawaanku dan mengusirku dari rumah. Dia berteriak bahwa aku yang merampas harta warisan yang seharusnya hak mereka.

Betapa sedih hatiku menghadapi penolakan dari kedua kakakku yang tak pernah kuanggap sebagai saudara angkat. Tetapi bagi mereka aku hanyalah seorang anak pungut dan perampas warisan. Ku tinggalkan kampung halaman yang penuh kenangan sejak aku kecil. Namun, kubawa semua kenangan terutama bersama Ayah dan Ibu yang telah mengasuh dan membesarkan aku dengan kasih sayang.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun