"Ibu, jika Ibu ingin kembali kepada Allah, pergilah, Bu. Aku ikhlas melepas kepergian Ibu. Aku akan tuntun Ibu." Air mataku mulai tumpah lagi.Â
Dengan perlahan kutuntun Ibu mengucap dua kalimah syahadat. Bibir Ibu bergerak perlahan, meskipun suara lirih Ibu tidak begitu jelas, aku yakin Ibu mengikutiku. Sampai akhirnya, mata Ibu tertutup dan bibir Ibu berhenti bergerak. Genggaman tangan Ibu juga mengendur. Aku terdiam.Â
'Selamat jalan, Ibu. Aku sangat menyayangimu, tetapi Allah lebih sayang kepadamu. Maafkan anakmu yang belum membalas jasamu, Ibu.'
Kucium kening Ibu agak lama. Air mata sungguh tak bisa lagi ku bendung. Ku peluk tubuh Ibu yang tidak lagi bergerak, sebagai pelukan terakhir. Setelah  itu, kuusap air mataku dan kupanggil dokter. Setelah ibu dinyatakan meninggal dunia oleh dokter, ku urus semua dokumen untuk membawa ibu pulang dan ku kabari kakak-kakakku. Malam itu jenazah ibu dibawa pulang ke rumah.Â
Pemakaman ibu dilaksanakan esoknya, secepat mungkin. Karena tidak ada lagi yang ditunggu. Kami anak-anak Ibu yang laki-lakiku turut dalam serta melaksanakan pemakaman Ibu.Â
Sehari setelah pemakaman selesai, ponselku berbunyi. Sebuah nomor tak dikenal. Tapi ku angkat juga telepon itu.Â
"Assalam'alaikum...., bisa bicara dengan saudara David? " Suara di seberang sana terdengar.Â
"Iya, saya sendiri. "
"Nama saya Subhan, saya notaris yang dipercaya Ibu saudara dalam membuat surat wasiat. Saya turut berduka cita atas berpulangnya ibu saudara."
"Terima kasih, Pak."
"Bisakah saudara dan kakak-kakak saudara datang ke kantor saya?"