Mohon tunggu...
Elodya Bastian
Elodya Bastian Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Hanya menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Penyanyi Hujan dan Jelita Pelangi

16 Juni 2019   21:08 Diperbarui: 16 Juni 2019   21:15 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuk, tuk,tuk.

Melewati dedaunan hijau di antara ranting-ranting pohon, surai yang lolos dari cepolan Ara bergelombang disapa angin lalu. Dia tersenyum menyadari bunyi ketukan tongkat menghampiri. Gingsul manisnya tampak kala itu.

"Rei! Di sini!" sapanya, mendapati si pengetuk tongkat kehilangan arah.

"Aku datang!"

Ara bangkit dari tempatnya, menghampiri Rei untuk sekadar meluruskan jalannya. Khawatir terjatuh dan tersandung batu.

Namun, bantuan Ara ditepis pelan. "Gak perlu, Ra. Aku bisa," tolak Rei.

"Nanti kamu jatuh!"

"Gak mungkin jatuh. Aku bisa sendi- ADUH!"

"Eh Rei!"

Rei mengaduh kesakitan. Sandal jepitnya tanpa sengaja terlepas, alhasil kakinya mengijak kerikil tajam yang bermuara di dekat rumput. Syukurnya tidak sampai terluka.

"Tuh kan! Apa kubilang?!" omel Ara sedangkan Rei terkekeh pelan. "Keras kepala sih, kamu!" lanjutnya.

Rei mengakhiri kekehannya dan tersenyum memandang Ara dengan sorot yang sembarang.

"Maaf, Bu. Hehe," ledeknya dan saat itu juga dibalas sentilan sadis oleh Ara di kening yang berselimut poni.

"Ba-bu-ba-bu! Memang aku ibumu! Huh!"

***

Rei lahir dengan namanya yang anggun, Kirei. Gaun panjang dengan rambut tergerai adalah favoritnya. Mendengar celoteh Ara juga bagian dari kerjaan sampingannya.

Rei hidup dan dibesarkan di panti asuhan, dengan kasih sayang Bunda Ana dan banyak pertolongan dari teman-teman pantinya yang lain. Salah satunya, Ara.

Banyak hal dari Ara yang Rei ketahui tentang kehidupannya. Mendengarkannya bercerita, seperti radio berjalan setiap hari.

Ara terlalu menunjukkan perhatiannya untuk Rei seolah Rei anak kandungnya, padahal keduanya sebaya. Oleh karena Rei yang merasa risih, dia pun sering menggoda Ara dengan sebutan 'Ibu', sampai Ara naik pitam.

Marahnya Ara bagai hiburan untuk Rei.

Gadis dengan tongkat hitam, orang menyebutnya begitu. Kenapa? Kenapa hitam? Kenapa bukan warna lain?

Rei sengaja memilih hitam karena hitam adalah dunia yang dia lihat selama hidup. Tidak ada warna yang bisa dia rasa selain hitam. Dia tak pernah mengenal cerah, terang, karena hanya gelap yang dia tahu.

Namun, biarpun begitu, Rei bukan pengeluh. Dia selalu bersedia untuk tersenyum pada kehidupan di hadapannya.

Tepat hari ini, Rei berulang tahun ketujuh belas dan Ara punya janji kalau dia akan mengajak Rei keluar jalan-jalan. Sebab selama ini, Ara baru sadar kalau Rei belum pernah keluar selain ke tempat ibadah.

Dia menghadiahi Rei gaun panjang dengan motif mawar kecil, plus tata rias dari tangan ajaibnya secara cuma-cuma. Meski awalnya Rei bersikeras menolak untuk dirias, tapi Ara berhasil meluluhkannya dengan seribu jurus rayuan maut. Maklum Ara ini orangnya melankolis.

"Rei, apa yang kamu suka?"

Rei terdiam. Dia berdengung dengan bibir terbuka. Udara pagi yang hangat menerpa pipinya sampai bernoda rona tipis. Raut berpikirnya sangat lucu.

'Astaga, gemasnya!' jerit batin Ara, menahan diri untuk tidak merusak Rei dengan mencubiti habis pipi berisinya, kalau saja dia tak ingat betapa menyusahkannya Rei ketika didandani. Ya ampun, Ara butuh hampir setengah jam ribut dengan Rei tentang make up-nya.

"Aku... mau lihat pelangi."

"-Eh?"

Ara bingung. Namun buru-buru Rei membetulkan ucapannya. "Maksudku, aku ingin kau bercerita tentang pelangi," sambungnya.

Senyum tipis Ara tersungging. Dia mengira Rei akan mengerjainya dengan meminta macam-macam. Tapi, setelah mendengarnya tadi, Ara sedikit terhenyak.

"Kalau bisa, sekalian hujan juga, ya, Ra. Hehehe."

Ara tertawa kecil mendapati Rei yang cekikikan. "Iya, deh, Tuan Putri," godanya. "Baiklah, Ibunda," kata Rei menggoda balik.

"IH, APA SIH IBUNDA-IBUNDA!"

***

"Rei, pelangi itu tujuh warnanya. Bersemayamnya di langit yang habis menangis, yang namanya hujan. 

Rintik-rintik yang bernada. Kadang riang senandungnya. Kadang garang melodinya. Bagai nyanyian langit untuk bumi agar tak sungkan bersyukur pada Tuhan.

Pelangi itu berwarna, Rei. Kamu mungkin tak paham warna. Tapi kamu bisa merasakan maknanya dengan hatimu.

Hujan dan pelangi. Tuhan mengirim keduanya bukan tanpa arti. Di waktu hujan bernyanyi, ada kantor pos gratis yang dibuka dari langit. Namanya pos doa.

Lewat hujan kamu bisa mengirim surat doa. Dengan pelangi kamu bisa merasa lega seakan Tuhan telah menerima doamu.

Kirei, artinya jelita. Bernyanyilah bersama hujan. Lalu bersinar manis seperti pelangi. Tuhan selalu disisimu."

-TAMAT-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun