Namun, biarpun begitu, Rei bukan pengeluh. Dia selalu bersedia untuk tersenyum pada kehidupan di hadapannya.
Tepat hari ini, Rei berulang tahun ketujuh belas dan Ara punya janji kalau dia akan mengajak Rei keluar jalan-jalan. Sebab selama ini, Ara baru sadar kalau Rei belum pernah keluar selain ke tempat ibadah.
Dia menghadiahi Rei gaun panjang dengan motif mawar kecil, plus tata rias dari tangan ajaibnya secara cuma-cuma. Meski awalnya Rei bersikeras menolak untuk dirias, tapi Ara berhasil meluluhkannya dengan seribu jurus rayuan maut. Maklum Ara ini orangnya melankolis.
"Rei, apa yang kamu suka?"
Rei terdiam. Dia berdengung dengan bibir terbuka. Udara pagi yang hangat menerpa pipinya sampai bernoda rona tipis. Raut berpikirnya sangat lucu.
'Astaga, gemasnya!' jerit batin Ara, menahan diri untuk tidak merusak Rei dengan mencubiti habis pipi berisinya, kalau saja dia tak ingat betapa menyusahkannya Rei ketika didandani. Ya ampun, Ara butuh hampir setengah jam ribut dengan Rei tentang make up-nya.
"Aku... mau lihat pelangi."
"-Eh?"
Ara bingung. Namun buru-buru Rei membetulkan ucapannya. "Maksudku, aku ingin kau bercerita tentang pelangi," sambungnya.
Senyum tipis Ara tersungging. Dia mengira Rei akan mengerjainya dengan meminta macam-macam. Tapi, setelah mendengarnya tadi, Ara sedikit terhenyak.
"Kalau bisa, sekalian hujan juga, ya, Ra. Hehehe."