Atmosfer berderu ringan di tengah kelenyapan kota
Bertiupan menyapa tiap insan yang mangkir dari jam tidur
Ataupun diteriaki garang lolongan anjing dari kejauhan
Barangkali rinai hujan bersedia temani lewat senandung rintik
Kusut masai surai kecoklatan dengan tungkai kaki bergerak gelisah
Kerap terjaga tatkala gemuruh iblis merayap perlahan dalam kepala
Berdengung menguasai tiap sudut alat indra
Terisak dalam bisu
Menulikan lagu cinta sang gerimis malam
Kuku-kuku pun sampai hati melukai nadi
Memandang sendu hitam cakrawala dari balik kaca jendela
Getar pita suaranya merintihÂ
Mengutuk kebebalan yang bersahabat lama dengannya
Bersama setan sialan yang mengingatkan tentang napas berat di akhir hari melelahkan
Setidaknya biarkan tangannya meraih pena untuk mengisahkan batin yang mati sadis
Luka-luka itu kekalÂ
Tidakkah engkau mengindahkan bibir pucat itu ingin bercerita?
Gadis yang menyimpan sakit di bahu sempitÂ
Tertawa beringas meratapi dosa-dosa
Dan tak malu mampir berdoa walau tengah berdarah-darah
Berbisik dari lubuk hati agar Tuhan sesekali memihak padanya
Tak mengapa bila harapan itu terkabul sekalipun di hari pemakamannya
Sehingga bintang-bintang tak perlu lagi menyaksikan duka yang dia pendam
Maupun rembulan yang berseri dengan khawatir akan raut kesusahannya
Mulut dia bergumam pada ketiadaan,Â
Sunyi, hampa
Helaian tak beraturannya jatuh menyelimuti sebagian wajah yang beruraian air mata
Tidak, tidak seharusnya dia melihat dirinya seperti ini
Wajah matahari masih setia menjemput esok
Memeluk tubuh ringkihnya yang bergeming seolah menanti maut
Persetan dengan seribu penjahat yang menggiling habis moralnya
Gadis berkeputusasaan itu hanya berkawan dengan seorang malaikat
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI