"Sakit rasanya, tapi aku berserah samo Allah. Mungkin inilah jalan kito.Â
"Lihatlah kito baik-baik bae kan..." sambung istrinya lagi.
Kalimat istrinya menohok Razak begitu rupa. Seketika ia sadar. Lalu iapun merestui pilihan anaknya. Anaknya dinikahkan dan dipestakan sebagaimana lazimnya pesta nikah di Dusun Sembilang.
Sejak itu Sahlan bermukim di Dusun Sembilang. Meneruskan usaha mertuanya usaha kerupuk kempalang dan udang. Juga ikan asin dan terasi yang mereka jual ke Tulung selapan kadang ke Palembang. Kerabat dan rekan dagangnya kini banyak. Sahlan cukup disegani di dusun itu***
Dinding kayu rumah panggung itu masih berderit. Televisi yang mereka pasangi parabola mini menyiarkan berita seperti hari-hari kemarin. Wabah Corona. Televisi lokal menyiarkan Kota Palembang yang sudah berstatus PSBB. Temasuk berita orang-orang yang tertangkap Pol PP karena tak mematuhi aturan keluar rumah.
Tapi bukankah hidup harus terus berlanjut...? Sahlan membatin sendiri sambil mengingat wajah Murni anak gadisnya yang terlihat datar tapi mendung.
Diantara derit dinding kayu rumah itu, selesai mereka makan malam, tiba-tiba Sahlan memanggil anak gadisnya
"Nakku, maafkan Ubak telah salah kepadamu...."
"Kabarilah Lim, meski penyakit Corona itu tak kunjung usai, kalian akan kunikahkan segera..."
"Usai Lebaran suruhlah Lim datang lagi, kalian menikah...
"Menikah sah, sebagaimana keinginan kalian, dak usah pesta.."
Murni tergugu. Tak bisa berkata-kata lagi kecuali bersimpuh menyujud orang tuanya.