"Hilal telah tampak ..."Â
Serangkai kalimat itu terdengar samar-samar di kepala Lim. Kiranya suara yang berasal dari sesuatu di kepalanya sendiri.Â
Kamar berdinding kayu yang sepi. Suasana hening. Hanya Lim seorang diri di kamar itu. Berdiri menatap jendela yang pintunya terbuka. Di jendela itu Lim melihat matahari nyaris tenggelam di balik pepohonan.
Tak lama matahari itu tenggelam. Sebelumnya ada pula bayangan bulan sabit samar terlihat. Lim memandang langit dengan seksama. Seolah dia sedang berada di tanah lapang dan memandang langit.
Entah mengapa demi memandang langit tadi Lim berkeyakinan bahwa hilal telah tampak. Entahlah. Kadang dengan pengalaman melihat matahari dan penetapan hilal seperti yang diajarkan para tetua dan ustadz di kampungnya juga sebuah keyakinan yang muncul sendiri, seperti malaikat sedang berbisik menyampaikan pesannya di kepala. Begitulah menurut Lim.
Di beranda depan Haji Arbain yang biasa dipanggil orang kampungnya dengan Haji Rebain, ayah Lim, sedang bersiap mengambil wudhu dari tempayan penampungan air tempat wudhu. Ibu Lim mengikuti gerakan suaminya lalu mereka menuju musholah kecil dalam rumah mereka. Lim mengikuti kedua orang tuanya. Mereka bertiga  sholat Maghrib seusai memecahkan puasa dengan sebutir kurma dan segelas teh manis hangat.
Gerakan ketiga ritmis. Tidak terlalu cepat tapi tidak juga terlalu pelan. Wajah mereka terlihat lepas. Tetapi, ada sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata, gerakannya seperti irama jiwa. Irama dari jiwa-jiwa pasrah. Barangkali saja.
"Hilal telah tampak. Besok sah Idul Fitri..." suara ayah Lim terdengar usai Lim mencium tangan ayahandanya itu.Â
Hening.Â
Lim terdiam. Ibu Lim tersenyum lega, sebab ia telah selesai memasak gulai lebaran kegemaran keluarganya Â
"Semoga saja ada hilal juga untuk rencana pernikahanmu, nak", lanjut ayah Lim lagi
Lim tersentak. Sungguh kalimat itu membuat Lim berpikir keras, kenapakah Bak berkata seperti itu...? ujar Lim dalam hati.
Meski takjub dan sedikit heran, akhirnya dalam hatinya Lim mengaminkan kalimat ayahnya***
Â
Angin berhembus di Sembilang. Pantai Mangrove yang pohon-pohonnya saling bertaut . Pohon Pedada yang daunnya rimbun sedang melambai sebab angin bertiup kencang. Angin yang juga bertiup di sebuah rumah panggung tepi Sungai Sembilang. Sungai Sembilang yang ditempuh beberapa kilometer lagi dari Sungsang, dan sekian puluh kilo dari Pulau Maspari.Â
Seseorang sedang menata meja. Meja kayu dengan renda putih tua buatannya sendiri. Di atas meja itu telah tertata beberapa toples berisi aneka kue kering. Ada kue Bangkit. Ada kue Rangi. Ada keripik Ubi pedas. Ada Kue Selai Nenas. Dan Ada Keripik Garpu.Â
Ia dan ibunya telah 2 hari mempersiapkan kue itu. Bukan karena mereka ingin merayakan Lebaran bersama kerabat dan tetangga sebagaimana bisa. Tapi karena ingin menghibur hati.Â
Duhai, kiranya apa yang bisa membuat bahagia dan membuang kesedihan sebab suasana pandemi Corona ini tentu ia lakukan. Apa yang bisa membuat rumah mereka semarak, makanan terhidang meski sederhana, akan ia buat. Semata-mata demi menghibur diri dan membuat bahagia. Itulah alasanya bergegas pulang ke kampungnya 3 hari yang lalu usai ia memberi tugas lewat kelas online kepada murid-muridnya.
Seseorang itu masih sibuk dengan pikirannya. Tangannya diantara kue-kue dan toples, pikirannya terbang. Wajahnya agak menirus dibanding dua bulan lalu. Entah karena puasa atau karena pikiran yang bergelayut di kepalanya. Wajah tirus yang semakin membuat hidungnya terlihat tinggi. Begitulah wajah seseorang itu. Seorang perempuan muda belia.
"Murni, masih ado kemplang udang. Susunlah dalam gelok besak itu..." Â suara ibunya membuyarkan lamunan perempuan muda belia itu
"Yo mak..." jawabnya ringkas  Â
Kedua perempuan itu meneruskan giat mereka. Tak terasa rupanya matahari sudah tenggelam di balik daun pedada dan rimbun nipah di tepian Sungai Sembilang.
"Alhamdulillah....usai sudah bulan Ramadan..." Laki-laki tinggi besar dengan kumis melintang menyeka air putih di mulutnya
Murni dan ibunya hanya mendengarkanÂ
"Kito Sholat maghrib dulu.." ajaknya kepada kedua perempuan itu
Tak ada suara. Kedua perempuan itu hanya mengangguk.
Lelaki tua bertubuh tinggi besar dengan kumis melintang itu sekejab memandang air muka istrinya. Tak lama ia memandang wajah Murni, anak gadis yang tinggal satu-satunya sebab kedua anak gadisnya yang lain telah menikah. Murni hanya menunduk. Hanya pak tua berbadan tinngi besar dan berkumis melintang itu tak bisa menepis, ada raut duka di wajah anak gadisnya.Â
Pikirannya tentulah berkecamuk. Sesuatu terbersit di kepala lelaki tua itu. Sebagaimana biasa tabiatnya, pikiran itu ia tepiskan dan menampakkan wajah biasa kepada anak dan istrinya.
Sejurus kemudian, ketiga anak beranak itu menunaikan sholat maghrib di rumah panggung mereka. Angin Sembilang bertiup kencang dan sesekali menimbulkan derit pada dinding kayu rumah mereka.Â
Derit suara yang membuat lantunan doa pak tua tinggi besar berkumis melintang, bernama Haji Sahlan terdengar makin samar
Tak bisa diduga, angin yang menimbulkan suara berderit-derit di dinding kayu ruamh panggungnya membuat pikiran Haji Sahlan mengelana. Ia teringat ketika rumah panggung mertuanya sedang berderit-derit hampir 21 tahun lalu***
Dua puluh satu tahun yang lalu
Ia telah melarikan Maznah yang kini telah menjadi ibu anak-anaknya di dusun  ini. Ya Maznah, ibu Murni. Dusun Sembilang seketika gempar. Hoi, Maznah dilarikan orang, Maznah dilarikan orang..., begitu berita beredar di dusun itu.Â
Kisah kawin lari paling gempar ketika itu. Sebab orang tua Maznah tak terima dan mencari Maznah dan mencari Sahlan hingga ke Palembang.Â
Ya di Zaman itu Kawin lari kerap dilakukan jika rencana meminang gadis tak menemukan kesepakatan. Bukan, bukan karena Sahlan tak sanggup menyediakan Mahar dan pintaan seperti yang diminta keluarga Maznah tapi karena Razak, Ayah Maznah menolaknya.
Razak menolak Sahlan karena Sahlan berasal dari suku tertentu, yaitu Komering yang entah mengapa tak disukai bahkan dibenci Ayah Maznah. Sebuah pikiran picik. Hanya kerap terjadi pada orang karena pengalaman buruk mereka. Bagi Razak Orang Komering itu pemarah dan galak. Apa karena  itu...? Sungguhkan ? Tak seorangpun yang tau. Hanya dia yang tau jawaban sebenarnya.Â
Ya, karena dia pernah dikalahkan memikat gadis idaman oleh bujang komering hingga ia tak jadi menikahi gadis idamannya dan akhirnya menikah dengan gadis lain yang kemudian menjadi istrinya, menjadi nenek Murni.
"Sudahlah...., dak baik menghalangi rencana anak kito dewek..." Ibu Maznah menasehati suaminya
"Jika anak gadis sudah berlari dengan bujang pilihannya, dak bagus kito ambek lagi..."
"Kito restui. Kito teruskan proses pernikahan mereka..."
"Abah kiro aku dak tau alasan abah menolak Sahlan...?"
"Aku tau bah. Hanya lihatlah, rumah tangga kita bek-baek bae ..."
"Jodoh, rezeki, maut itu hak mutlak Allah..."
"Wong tuo aku memaksa aku kawin samo abah, padahal waktu itu aku punyo pilihan lain..."
"Sakit rasanya, tapi aku berserah samo Allah. Mungkin inilah jalan kito.Â
"Lihatlah kito baik-baik bae kan..." sambung istrinya lagi.
Kalimat istrinya menohok Razak begitu rupa. Seketika ia sadar. Lalu iapun merestui pilihan anaknya. Anaknya dinikahkan dan dipestakan sebagaimana lazimnya pesta nikah di Dusun Sembilang.
Sejak itu Sahlan bermukim di Dusun Sembilang. Meneruskan usaha mertuanya usaha kerupuk kempalang dan udang. Juga ikan asin dan terasi yang mereka jual ke Tulung selapan kadang ke Palembang. Kerabat dan rekan dagangnya kini banyak. Sahlan cukup disegani di dusun itu***
Dinding kayu rumah panggung itu masih berderit. Televisi yang mereka pasangi parabola mini menyiarkan berita seperti hari-hari kemarin. Wabah Corona. Televisi lokal menyiarkan Kota Palembang yang sudah berstatus PSBB. Temasuk berita orang-orang yang tertangkap Pol PP karena tak mematuhi aturan keluar rumah.
Tapi bukankah hidup harus terus berlanjut...? Sahlan membatin sendiri sambil mengingat wajah Murni anak gadisnya yang terlihat datar tapi mendung.
Diantara derit dinding kayu rumah itu, selesai mereka makan malam, tiba-tiba Sahlan memanggil anak gadisnya
"Nakku, maafkan Ubak telah salah kepadamu...."
"Kabarilah Lim, meski penyakit Corona itu tak kunjung usai, kalian akan kunikahkan segera..."
"Usai Lebaran suruhlah Lim datang lagi, kalian menikah...
"Menikah sah, sebagaimana keinginan kalian, dak usah pesta.."
Murni tergugu. Tak bisa berkata-kata lagi kecuali bersimpuh menyujud orang tuanya.
Tak usah ditebak lagi. Pastilah Murni segera mencari sinyal, membawa  handphonenya diantara Pohon Pedada tepi rumahnya. Murni menelpon LIm, mengabari kejutan indah itu,
"Alhamdullillah kak, Ubak akhirnya merestui kita nikah tanpa pesta"
"Datanglah usai lebaran, hilal pernikahan kita telah tampak..."
Tak jelas lagi apa kelanjutan pembicaraan Murni dan Lim di telpon.Â
Angin terus bertiup. Dinding rumah panggung kayu itu masih berderit. Pohon pedada di tepi rumah Murni di Dusun Sembilang kelak akan menjadi saksi pembicaraan manis keduanya. Maka Angin Sembilang, teruslah bertiup dan bawa harapan baik.
 *****Tamat*****
Catatan Kamus Bahasa Palembang:
Ado : Ada
Gelok : Toples
Biso : Bisa
Dak (idak) : Tidak
Wong Tuo : Orang tua
Kito : kita
Dewek : Sendiri
Umak, Mak : Ibu
Ubak, Bak, Abah : Ayah
Ambek : AmbilÂ
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H