"Alhamdulillah....usai sudah bulan Ramadan..." Laki-laki tinggi besar dengan kumis melintang menyeka air putih di mulutnya
Murni dan ibunya hanya mendengarkanÂ
"Kito Sholat maghrib dulu.." ajaknya kepada kedua perempuan itu
Tak ada suara. Kedua perempuan itu hanya mengangguk.
Lelaki tua bertubuh tinggi besar dengan kumis melintang itu sekejab memandang air muka istrinya. Tak lama ia memandang wajah Murni, anak gadis yang tinggal satu-satunya sebab kedua anak gadisnya yang lain telah menikah. Murni hanya menunduk. Hanya pak tua berbadan tinngi besar dan berkumis melintang itu tak bisa menepis, ada raut duka di wajah anak gadisnya.Â
Pikirannya tentulah berkecamuk. Sesuatu terbersit di kepala lelaki tua itu. Sebagaimana biasa tabiatnya, pikiran itu ia tepiskan dan menampakkan wajah biasa kepada anak dan istrinya.
Sejurus kemudian, ketiga anak beranak itu menunaikan sholat maghrib di rumah panggung mereka. Angin Sembilang bertiup kencang dan sesekali menimbulkan derit pada dinding kayu rumah mereka.Â
Derit suara yang membuat lantunan doa pak tua tinggi besar berkumis melintang, bernama Haji Sahlan terdengar makin samar
Tak bisa diduga, angin yang menimbulkan suara berderit-derit di dinding kayu ruamh panggungnya membuat pikiran Haji Sahlan mengelana. Ia teringat ketika rumah panggung mertuanya sedang berderit-derit hampir 21 tahun lalu***
Dua puluh satu tahun yang lalu
Ia telah melarikan Maznah yang kini telah menjadi ibu anak-anaknya di dusun  ini. Ya Maznah, ibu Murni. Dusun Sembilang seketika gempar. Hoi, Maznah dilarikan orang, Maznah dilarikan orang..., begitu berita beredar di dusun itu.Â