Mohon tunggu...
Claudya Elleossa
Claudya Elleossa Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pencerita

Seorang ASN dan ibu, yang sesekali mengisi pelatihan menulis dan ragam topik lainnya. Bisa diajak berinteraksi melalui IG @disiniclau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

5 Kesan tentang Jakarta, di Mata Seorang Perantau Baru

28 Agustus 2018   18:48 Diperbarui: 30 Agustus 2018   22:24 3178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berdasarkan beberapa prediksi sebelum momen lebaran 2018, ada sekitar 1400 pendatang baru di DKI Jakarta yang memang masih menjadi magnet bagi banyak penduduk Indonesia dari berbagai belahan nusantara. Pastilah ada berbagai alasan dibalik keputusan hijrah ke ibukota, misalnya untuk income yang lebih menggiurkan dan peluang yang lebih bervariasi.

Sedikit banyak, saya bergabung menjadi satu dari seribu empat ratus pendatang baru dengan alasan serupa walaupun ditambah beberapa alasan personal lain.

Setelah menjalani persis dua bulan dua pekan perantauan di Jakarta, baik teman lama ataupun teman baru (yang memang asli Jakarta) sering bertanya "gimana nih Jakarta?"

Saya akhirnya tergelitik untuk merangkumnya melalui tulisan ini.

Sebagai catatan, saya akan mengontraskan Jakarta dengan kota asal saya, Surabaya, yang notabene menjadi kota kedua terbesar berdasarkan populasi di Indonesia.

Suhu udara di Jakarta cukup bersahabat. Kualitas udaranya, tidak.

Salah satu hal yang paling saya suka adalah mendapati kota ini tidak sepanas Surabaya. Baik suhu udara ataupun terik matahari.

Ketika saya menceritakan ini ke murid-murid saya, tidak jarang mereka menertawakan saya.

Bagi mereka yang kebanyakan memang sudah lahir di sini, mereka sudah merasa Jakarta ini tergolong panas. Saya pun berujar, "Coba deh tinggal Surabaya!"

Memang perbandingan tidak selalu mencuri kebahagiaan, kadang perbandingan membuat kita lebih objektif menilai sesuatu.

Walau secara suhu udara tidak semenyiksa panas Surabaya, namun satu hal yang memang sangat parah: polusi udara.

Dengan jumlah kendaraaan yang sangat banyak dan aktivitas yang tak pernah berhenti, masker menjadi hal mutlak di jalanan.

Semua lebih mahal

Dulu saya pikir bahwa apa-apa di Jakarta mahal hanyalah sebuah mitos. Atau setidaknya fakta yang tidak utuh.

Sependek dua bulan ini, saya membuktikan bahwa itu bukan hanya isapan jempol. Frase "lebih mahal" ini tergolong menyeluruh. Dari produk fashion ternama hingga perkara menu sambal penyet dan warteg.

Misalnya, menu nasi dengan telur, usus goreng, dan tahu (lengkap dengan sambal dan lalapan) di langganan saya dekat kost Mulyosari (tergolong wilayah "elit") hanya dikenai harga Rp. 10 ribu. Sedangkan menu persis serupa di Jakarta tidak kurang dari Rp 15 ribu. Bayangkan!

Begitu juga warteg, menu nasi, sayur, dan satu lauk (non ayam) di Surabaya paling mahal Rp 15 ribu. Sedangkan di Jakarta, saya harus membayar setidaknya Rp 18 ribu untuk menu serupa.

Saya kemudian mendapati bahwa dengan tingkat pemasukan yang meningkat, biaya hidup di kota ini juga lebih kejam mencekik.

Melimpahnya komunitas dan dunia kreatif

Sebagai seseorang yang menyukai bidang menulis, salah satu keluhan saya saat di Surabaya adalah, langkanya kelas menulis, workshop kreatif, ataupun pameran seni yang menarik.

Di Jakarta, cerita sepenuhnya berbeda. Bukannya kesulitan mencari, saya justru kelabakan memilih milah mana yang harus saya ikuti.

Ingin hati mengikuti semuanya, apa daya biaya transportasi juga harus diperhitungkan.

Salah satu mentor saya dulu pernah berkata bahwa Surabaya memang bukan ladang ramah untuk bidang kreatif. Rata-rata workshop laris di kota dengan julukan Kota Pahlawan itu berkisar di topik properti dan investasi.

Tebakan saya, melimpahnya pameran seni dan keleluasaan ruang kreatif untuk berkembang, salah satunya dipicu tujuan untuk mengurangi tingkat stres Jakarta yang dapat sangat tinggi dengan segala polemik (dan polusi) di dalamnya.

Penghargaan akan ruang privat

Banyak yang bilang orang Jakarta itu hanya mikirin urusannya sendiri. Entah kenapa bagi saya ini bukanlah sebuah konotasi negatif.

Slogan mind your business menjadi peraturan tidak tertulis di sini, dan itu jauh berbeda dari lingkungan sebelumnya.

Misalnya, tidak akan menanyakan hal-hal privat atau menanyakan hal remeh semacam pakaian, dan preferensi tertentu.

Budaya "kepo" kadang memang sangat menyebalkan apalagi karena itu cenderung berujung dengan tindakan menggosip.

Ketika menilik mengapa budaya kepo-tak-penting hanya sedikit subur di sini, saya berpikir bahwa ini sangat berkaitan dengan tingkat kesibukan manusia-manusianya.

Bayangkan, sudah sesak dengan tugas, kemacetan, pengaturan keuangan yang harus jeli, maka mengurusi hidup orang lain akan menjadi hal terakhir yang perlu dilakukan.

Jalanan Jakarta = rimba yang buas

Poin ini tidak bisa saya ingkari dan saya jadikan penutup, sebab memang saya tidak habis pikir dengan kemacetan dan nyali para pengendara di kota ini.

Dulu di Surabaya saya sering mengeluh ketika ada orang yang membunyikan klakson tanpa aturan di beberapa sudut kota.

Di Jakarta ini, hampir semua sisi jalan diisi suara berisik klakson ditambah para pengendara yang seakan memiliki sembilan nyawa sehingga dapat sangat nekat dalam berkendara.

Jalanan yang kejam juga termanifestasi di beberapa moda transportasi massal seperti KRL dan Transjakarta yang di titik waktu tertentu dapat menjadi sangat buas.

Sayangnya saya harus akui bahwa salah satu warna utama dari ibu kota.

Bagaimanapun lima kesan ini sangatlah subjektif, dan saya harap para pencaci kota ini juga lebih objektif bahwa di kota kejam dan macet serta penat ini banyak hal yang masih dapat disyukuri.

Akhir kata, saya sangat menikmati masa-masa di Jakarta saat ini, walau hati saya mungkin seterusnya menetap di Surabaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun