Dengan jumlah kendaraaan yang sangat banyak dan aktivitas yang tak pernah berhenti, masker menjadi hal mutlak di jalanan.
Semua lebih mahal
Dulu saya pikir bahwa apa-apa di Jakarta mahal hanyalah sebuah mitos. Atau setidaknya fakta yang tidak utuh.
Sependek dua bulan ini, saya membuktikan bahwa itu bukan hanya isapan jempol. Frase "lebih mahal" ini tergolong menyeluruh. Dari produk fashion ternama hingga perkara menu sambal penyet dan warteg.
Misalnya, menu nasi dengan telur, usus goreng, dan tahu (lengkap dengan sambal dan lalapan) di langganan saya dekat kost Mulyosari (tergolong wilayah "elit") hanya dikenai harga Rp. 10 ribu. Sedangkan menu persis serupa di Jakarta tidak kurang dari Rp 15 ribu. Bayangkan!
Begitu juga warteg, menu nasi, sayur, dan satu lauk (non ayam) di Surabaya paling mahal Rp 15 ribu. Sedangkan di Jakarta, saya harus membayar setidaknya Rp 18 ribu untuk menu serupa.
Saya kemudian mendapati bahwa dengan tingkat pemasukan yang meningkat, biaya hidup di kota ini juga lebih kejam mencekik.
Melimpahnya komunitas dan dunia kreatif
Sebagai seseorang yang menyukai bidang menulis, salah satu keluhan saya saat di Surabaya adalah, langkanya kelas menulis, workshop kreatif, ataupun pameran seni yang menarik.
Di Jakarta, cerita sepenuhnya berbeda. Bukannya kesulitan mencari, saya justru kelabakan memilih milah mana yang harus saya ikuti.
Ingin hati mengikuti semuanya, apa daya biaya transportasi juga harus diperhitungkan.