Kemudian keduanya hening.
Ada kesunyian yang teramat dalam dibalik kelakarnya Tri. Ken dapat menangkapnya. Lagi-lagi Ken kasihan melihat Tri menanggung kesunyian itu sendirian. Ditariknya nafas dalam-dalam. Tri terlalu baik untuk disakiti. Lagipula sebentar lagi dia akan pergi ke luar negeri melanjutkan pasca sarjana di Jerman, lagi-lagi karena beasiswa. Ken tidak mau meninggalkan kesan yang buruk dimata Tri.
“Tapi aku akan pergi jauh, Tri. Mungkin mulai lusa aku tidak bisa menemanimu. Kamu harus bisa lebih kuat dari sekarang. “
“Tak masalah, Ken. Jarak bukan halangan untukku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi yang ku percaya. Orangtuaku mungkin sudah lupa bahwa aku masih ada.”
“Tapi..” Ken ragu melanjutkan kalimatnya. Tri memeluknya erat. Seperti pelukan perpisahan.
“O iya, aku ada seorang teman di Hannover. Namanya Clara. Dia teman SD ku dulu. Orang tuanya di pindah tugaskan kesana, dikota kelahiran ayahnya. jadi dia melanjutkan study disana. Nanti kuhubungi dia agar bisa menampungmu untuk sementara. Tenang saja aku sudah mengenal baik keluarganya. Mereka sangat baik.”
“Bagaimana dengan kamu disini?” Tanya Ken.
“Aku akan menjalankan bisnis mamah, sesuai keinginannya. Mengelola butik dan salon yang dia miliki. Aku sudah mengutarakan keinginanku yang lain, Ken. Tapi..” Tri mengangkat bahunya.
“Aku sangat menyayangi mamah. Aku tak mau dianggap membangkang. Hanya aku sekarang yang menjadi tumpuan harapannya.” Tri menatap gemintang. Terdapat jarak ribuan kilometer retinanya menembus langit malam. Ada yang mulai menggenang di matanya.
“Aku akan meneleponmu sesampainya di Hanover.” Ken menenangkan
“Ku doakan kamu bisa mencapai impianmu, Ken. Doa adalah caraku memelukmu dari jauh..haha.” Tri mengangkat tangannya sebagaimana seorang penyair membacakan karyanya.