Kisah ini berawal dari pertemanan mereka, hubungan mutualisme mungkin tepatnya. Seringkali Ken merasa terbantu oleh Tri yang mepunyai kartu debet dan kartu kredit lebih dari satu di dompetnya. Tak jarang Ken sebagai anak kost sering terlambat menerima kiriman uang dari ayahnya di kampung. Keperluan yang kian mendesak untuk biaya semester, uang kost atau uang makan kerap membuat Ken kebingungan. Disaat itulah Tri datang sebagai pahlawan yang membantu keuangannya. Apakah ini sama saja justru Kenlah yang memanfaatkan Tri? Tidak. Ini karena inisiatif Tri sendiri untuk membantu karena melihat kegigihan Ken untuk menyelesaikan studynya.
“Aku sih tidak muluk-muluk, Tri. Aku bisa lulus kuliah saja aku sudah seneng.” Kata Ken datar.
Keinginan yang sederhana pikir Tri. Maka sesederhana itupun sangat disayangkan jika akhirnya tidak bisa terlaksana.
“Kamu masih beruntung Ken, memiliki keluarga yang mendukungmu. Orang tuaku sering bepergian, ken. Mereka mungkin tidak ingat anaknya ini sudah semester berapa sekarang. Kalaupun mereka ada dirumah, mereka terlalu sibuk dengan urusan bisnisnya. Pernah kuminta mamah untuk menjadi ibu rumah tangga saja, menyambutku ketika aku pulang kuliah dan mendengar keluh kesahku. Namun mamah menolak, dia selalu ingat dengan kematian kakak perempuanku yang mengidap kanker payudara. Ketika itu keluarga kami sedang menghadapi kesulitan keuangan sehingga tidak bisa mengobati kakak ke luar negeri. Sejak saat itu, mamah merasa sangat kehilangan dan bertekad membangun usaha lagi demi membantu keuangan keluarga kami. Mamah bahkan sering salah memanggil namakudengan sebutan Eka, kakak perempuanku yang terkena kanker itu.” Papar Tri panjang lebar.
“Lalu dimana Dwi, kakak keduamu?” Ken bertanya.
“Dwi sudah meninggal, over dosis.” Tri menjelaskan singkat. Ada pilu dimatanya.
Ken memegang pundak Tri. Rumahnya yang megah, mobil keluaran terbaru, uang yang banyak ternyata tidak bisa membeli kasih sayang yang dirindukan Tri. Ken menjadi iba. Ken akhirnya menerima ajakan Tri ketika memintanya tinggal dirumahnya untuk mengurangi pengeluaran biaya kost. Dan tak jarang Tri lah yang mentraktir Ken makan siang atau membeli keperluan bulanan, bahkan memilihkan baju-baju modis untuk dikenakan oleh Ken. Ken merasa terbantu dan berhutang budi.
Mereka jadi sangat dekat. Ken bisa mengisi hari-hari Tri yang kesepian. Tri adalah seorang anak semata wayang dari pengusaha sibuk. Tak jarang Tri berbulan-bulan ditinggal oleh orang tuanya. Tri haus perhatian. Ken berhasil mengisi kekosongan itu. Ken seorang yang tulus, apa adanya, perhatian dan sabar. Hingga suatu hari benih-benih suka itu tumbuh dihati Tri dan Ken.
Malam itu bulan membulatkan dirinya menjadi purnama. Angin cukup tenang menyapa Ken dan Tri yang sedang bercengkrama di kursi taman belakang rumah. Asisten rumah Tri sudah sedari tadi tertidur. Bulan bulat, sebulat tekad Tri menghalau malunya. Namun angin tak senada dengan degup jantung Tri. Jantungnya berdegup lebih kencang akhir-akhir ini.
“Ken, ..a..a..ku suka kamu.” Bibir Tri terbata. Yang disambut dengan derai tawa Ken. Tri menatapnya serius. Berharap cemas.
“Hahaha..Kamu bercanda..Tri.” Ken mengibaskan tangannya. Sahabatnya itu memang suka bercanda. Entah berapa kali temannya pun dibuat keGRan dengan kalimat itu. Untunglah mereka tidak dendam pada Tri.
“Aku serius..” Tandas Tri.