Mohon tunggu...
Elinda PutriEka
Elinda PutriEka Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tarekat dalam Islam

13 Desember 2023   09:04 Diperbarui: 13 Desember 2023   09:05 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Definisi Tarekat

Kata "tarekat" berasal dari bahasa Arab, yakni (tariqah), bentuk mashdar dari kata (tarq) yang berarti "jalan," "cara," "metode," "madzhab," dan "keadaan." Istilah ini memiliki dua makna utama dalam konteks tasawuf. Pertama, sebagai metode atau sistem untuk mengembangkan jiwa dan moral individu dalam konteks suluk dan ibadah. Kedua, sebagai sistem pelatihan roh yang dilaksanakan dalam kelompok persaudaraan Islam. Definisi ini menciptakan dua makna tarekat: sebagai metode pengembangan diri dan sebagai sistem pelatihan roh dalam konteks persahabatan Islam.

Abu Bakar Aceh mengartikan tarekat sebagai panduan untuk menjalankan ritual ibadah sesuai dengan ajaran Nabi, sahabat, dan generasi penerus mereka. Mursyid, guru yang memberikan bimbingan, mengajarkan murid-murid setelah menerima izin dari guru mereka. Tarekat, menurut penganut Tasawuf, memungkinkan implementasi peraturan Syari'at dalam praktik keagamaan. Dengan demikian, tarekat memiliki dua makna: sebagai pendidikan akhlak dan jiwa pada abad ke-9 dan ke-10 Masehi, dan sebagai gerakan komprehensif yang memberikan latihan rohani dan jasmani pada kaum muslim sesuai ajaran tertentu setelah abad ke-11 Masehi.

Definisi awal tarekat bersifat teoritis, sebagai panduan untuk memahami dan mendalami ajaran agama melalui tahap-tahap pendidikan seperti maqamat dan ahwal. Tarekat juga dilihat sebagai usaha individu mendekatkan diri kepada Allah melalui jalur tertentu. Ini sejalan dengan pandangan Syekh Muhammad Nawawi al Banteni al Jawi, di mana tarekat mencakup pelaksanaan kewajiban dan sunnah, menghindari larangan, menjauhi perilaku berlebihan, dan menjaga hati melalui mujahadah dan riyadhah.

Dalam definisi kedua, tarekat diartikan sebagai sebuah kelompok persaudaraan yang didirikan sesuai dengan aturan dan perjanjian khusus. Fokus kelompok ini adalah pelaksanaan ibadah dan zikir bersama, diatur oleh aturan tertentu baik di dunia maupun akhirat. Secara sederhana, tarekat adalah hasil pengalaman seorang sufi yang diikuti oleh murid-muridnya sesuai aturan dan metode tertentu, dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengalaman sufi ini mencakup tata cara zikir, riyadhah, dan doa-doa, diorganisir menjadi aturan dan tata cara baku yang diikuti oleh murid-murid dalam tarekat tersebut.

Dalam praktik sufisme, setiap individu memiliki pendekatan unik, menghasilkan perbedaan di antara sufi-sufi. Salah satu contohnya adalah Syekh Abdul Qadir al Jailani, pendiri tarekat Qadiriyah, yang menekankan pentingnya penyucian diri dari nafsu dunia. Panduan yang diberikannya untuk mencapai kesucian diri termasuk taubat, zuhud, tawakal, syukur, ridha, dan jujur.

Tarekat ini mengadopsi praktik spiritual seperti zikir, terutama melantunkan nama-nama Allah berulang-ulang dengan tingkatan dan intensitas yang berbeda. Zikir dapat dilakukan secara bersama-sama, diikuti dengan praktik "pas al anfas" untuk mengatur napas sehingga asma' Allah beredar dalam tubuh secara otomatis. Selanjutnya, dilakukan praktik muraqabah (pengawasan diri) dan kontemplasi.

Definisi tarekat dalam konteks ini mencerminkan suatu metode atau pendekatan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pada intinya, tarekat melibatkan aturan-aturan tertentu yang mencakup pemahaman syariah, pengendalian nafsu, praktik zikir dan doa, serta pelaksanaan amaliah ibadah dengan tekun dan kesadaran. Pendekatan ini sejalan dengan pandangan sufi bahwa tarekat membantu individu dalam perjalanan rohani mereka menuju Allah, seperti yang dikonfirmasi oleh Rasulullah SAW dalam hadis. Oleh karena itu, tarekat dianggap sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui zikir yang tekun dan pengalaman spiritual pribadi, tanpa batasan tertentu karena setiap individu memiliki jalan mereka sendiri sesuai dengan bakat, kemampuan, dan kebersihan hati masing-masing.

Unsur-Unsur Tarekat

Dalam suatu tarekat, peran seorang guru tarekat, yang umumnya disebut sebagai sheikh atau murshid, memiliki peranan penting dan bahkan mutlak dalam hierarki tarekat tersebut. Para ulama fikih, yang dianggap sebagai pewaris nabi Muhammad SAW, bertanggung jawab mengajarkan ilmu lahir, sementara murshid tarekat menjadi pewaris nabi dalam mengajarkan penghayatan keagamaan yang bersifat batin. Oleh karena itu, dalam struktur silsilah tarekat, posisi Nabi Muhammad SAW ditempatkan di puncak hierarki setelah Allah SWT dan Malaikat Jibril. Seorang murshid memiliki otoritas dan legalitas dalam kesufian, yang mencakup tugas membimbing, mengawasi, dan mengajarkan kehidupan tasawuf kepada murid-muridnya. Otoritas ini diperoleh melalui pembelajaran dan latihan intensif dari Murshid pendahulunya, dan murshid dianggap mampu menjadi seorang murshid tarekat setelah memperoleh izazah, bentuk pelantikan atau pengesahan resmi sebagai murid yang telah mencapai kedudukan murshid. Seorang murshid harus memiliki pemahaman yang mendalam dan komprehensif tentang ilmu syari'at dan ilmu hakikat, dengan perilaku dan akhlaq yang mencerminkan keutamaan. Tugas seorang murshid dalam tarekat sangat menuntut, terutama jika ia memiliki banyak murid yang tersebar di lokasi yang berjauhan, sehingga sering dibantu oleh wakil yang disebut khalifah atau badal, seperti dalam tradisi tarekat Qadiriyah-Naqshbandiyah dengan istilah wakil talkin. Muhammad Amin al Kurdi menekankan beberapa kualifikasi yang dibutuhkan untuk menjadi seorang murshid, termasuk pemahaman mendalam dalam berbagai bidang pengetahuan, kecerdasan emosional, kepedulian terhadap kesempurnaan hati, dan kemampuan menjaga rahasia para murid.

Sebelum menjadi anggota tarekat, seseorang harus menyatakan kesiapannya menjadi murid dan kemudian mengikuti proses baiat yang diberikan oleh guru. Baiat adalah komitmen untuk tunduk kepada petunjuk guru dan mengamalkan ajaran tarekat, dan dalam upacara ini, murid juga diajarkan tentang praktik zikir yang harus dilakukan setiap hari.

Proses baiat ini menjadi langkah awal dalam memasuki dunia tarekat yang menantang. Ajaran dalam tarekat terbagi menjadi dua kategori, yaitu ajaran khusus yang hanya diikuti oleh anggota tarekat tertentu dan ajaran umum yang dapat diikuti oleh umat Islam di luar tarekat tersebut. Zawiyyah, tempat di mana para pencari kebenaran menjalankan praktik spiritual, seperti meditasi, pengulangan zikir, dan wirid sesuai dengan ajaran tarekat mereka, merupakan asal mula dari perjalanan kaum sufi yang mencari petunjuk rohani.

Sejarah Tarekat Dalam Islam

Dalam penelitian sejarah perkembangan tasawuf, perkembangan tarekat dibagi menjadi empat periode yang dimulai dari abad pertama Hijriah. Pembagian ini didasarkan pada perubahan dalam masyarakat Muslim dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang dipengaruhi oleh fenomena keberagamaan yang berubah dari masa ke masa. Awal mula tasawuf dapat ditelusuri hingga masa sahabat dan tabi'in, meskipun istilah "tasawuf" belum digunakan. Pada masa itu, umat Islam menjalani kehidupan seimbang, menjauhi budaya pragmatis, materialisme, dan hedonisme, meskipun istilah "tasawuf" belum dikenal.

Periode Pertama (Abad ke-1 dan ke-2 H): Pada periode ini, tasawuf muncul sebagai respons terhadap perubahan sosial dan ekonomi setelah masa nabi Muhammad SAW. Masyarakat fokus pada aspek teologi dan pembentukan syariat Islam, dan para tokoh sufi seperti Hasan al-Bashri dan Rabi'ah al-'Adawiyah menekankan kesederhanaan dalam gaya hidup dan ketakutan kepada Allah.

Periode Kedua (Abad ke-3 dan ke-4 H): Tasawuf mengalami perkembangan signifikan. Ilmu tasawuf berkembang menjadi tiga cabang utama: ilmu jiwa, ilmu akhlak, dan ilmu ghaib (metafisika). Fokus penelitian bergeser ke arah wusul (mencapai kesatuan) dan ittihad (persatuan) dengan Tuhan.

Periode Ketiga (Abad ke-5 H): Terjadi perkembangan dan perubahan dalam ajaran tasawuf. Tasawuf sunni terus berkembang, sementara tasawuf falsafi mengalami penurunan popularitas. Konsep tarekat sebagai kelompok yang melakukan zikir mulai muncul pada masa ini.

Periode Keempat (Abad ke-6 H dan seterusnya): Tasawuf falsafi mengalami kebangkitan dalam bentuk yang lebih komprehensif, terutama dengan karya-karya Ibnu Arabi. Perkembangan tasawuf pada periode ini memiliki dampak signifikan pada perkembangan tarekat.

Berdasarkan perkembangan tersebut, tarekat mulai muncul pada abad keenam Hijriah, dengan awalnya sebagai jalan spiritual individu yang menuju pemahaman hakikat. Pada abad berikutnya, terutama abad ke-3 dan ke-4 H, muncul berbagai tarekat sebagai persiapan. Kedatangan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pada abad ke-6 Hijriah menandai perubahan arah dalam perkembangan tarekat, dan sejak saat itu, berbagai tarekat muncul, termasuk cabang dari tarekat Qadiriyah dan tarekat-tarekat yang berdiri sendiri.

Macam-Macam Tarekat Muktabaroh, Tokoh dan Pemikirannya

Tarekat Qadiriyah

Tarekat Qadiriyah adalah tarekat yang didirikan oleh Syaikh Abdul Qadir al Jilani yang hidup pada tahun 470-561 H/1077-1166 M) yang digelari Sulthan al Auliya', al Ghauws, Quthb al Auliya' beliau sangat terkenal di kalangan masyarakat muslim, khususnya di Indonesia.

Pemikiran dan ide spiritual Syaikh Abdul Qadir al Jilani terhadap tarekat Qodiriyah:

1. Tawhid (Kesatuan Allah): Tarekat Qadiriyyah memandang tawhid, yaitu keyakinan akan kesatuan Allah, sebagai konsep sentral. Para anggotanya didorong untuk memahami dan mengalami kesatuan Allah dalam setiap aspek kehidupan mereka.

2. Dzikir dan Meditasi: Anggota Tarekat Qadiriyyah melakukan dzikir (pengingatan Allah) secara teratur. Dzikir dilakukan dengan merenungkan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya. Aktivitas dzikir ini bertujuan untuk mencapai kontemplasi spiritual dan mendekatkan diri kepada Allah.

3. Ketaatan kepada Guru Spiritual: Tarekat ini menekankan pentingnya hubungan antara murid dan guru spiritual. Para murid diharapkan tunduk kepada nasihat dan bimbingan guru mereka. Ketaatan kepada guru dianggap sebagai jalan menuju pemahaman spiritual yang lebih dalam.

4. Penyerahan Diri (Taslim): Anggota Tarekat Qadiriyyah diajarkan untuk sepenuhnya menyerahkan diri kepada kehendak Allah. Penyerahan diri ini mencakup menerima segala ujian dan cobaan dengan sabar serta mengikuti kehendak Allah dalam segala hal.

5. Cinta dan Kebaikan kepada Semua Makhluk: Tarekat Qadiriyyah mengajarkan pentingnya mencintai dan berbuat baik kepada semua makhluk Allah. Mereka percaya bahwa cinta dan kasih sayang merupakan sifat Allah yang harus tercermin dalam perilaku manusia terhadap sesama.

6. Pengabdian Sosial: Para anggota tarekat diharapkan untuk berpartisipasi aktif dalam membantu masyarakat dan memperbaiki kondisi sosial. Mereka diberi tanggung jawab moral untuk memberikan kontribusi positif bagi lingkungan sekitar mereka.

7. Mengatasi Hambatan Diri: Tarekat Qadiriyyah mengajarkan pentingnya mengatasi hambatan internal, seperti nafsu, kemarahan, dan ketamakan. Para anggota didorong untuk mengendalikan emosi dan keinginan duniawi guna mencapai kedekatan dengan Allah.

Ajaran Syaikh Abdul Qadir selalu menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia. Karena itu, beliau memberikan beberapa jalan alternatif guna sebagai petunjuk untuk terbebas dari jeratan nafsu duniawi. Di antaranya adalah senantiasa taubat, bersikap zuhud, tawakkal, syukur dan ridha serta jujur. Hal tersebut sebagai indikator bahwa Syaikh Abdul Qadir sebagai tokoh tasawuf sunni yang bernuansa akhlaki. 

Tarekat Naqsyabandiyah 

Tarekat Naqsyabandiyah didirikan oleh Muhammad bin Baha al-Din al-Uwaisi al-Buhkhari an-Naqsyabandi (717-791 H/1318-1389 M), dilahirkan yang dikenal dengan Baha al-Din An-Naqsyabandi. Beliau seorang sufi terkenal yang lahir di desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempat lahir Imam Bukhari.

Konsep pemikiran tarekat Naqsabandiyah :

Dalam Tarekat Naqshbandi, dzikir dilakukan secara hening dengan mengingat Allah dalam hati, bukan melalui ucapan. Mereka percaya bahwa dzikir yang benar terjadi ketika hati seseorang senantiasa mengingat Allah, bahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Konsep tawajjuh, atau perhatian spiritual yang mendalam, penting dalam tarekat ini. Para murid diajarkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan fokus dan perhatian yang penuh. Guru spiritual mereka mengamati dan membimbing para murid secara individual.

Hubungan yang erat dengan guru spiritual sangat ditekankan dalam Tarekat Naqshbandi. Para murid diharapkan mendapatkan nasihat, bimbingan, dan pengetahuan langsung dari guru melalui asosiasi mereka.

Tarekat Naqshbandi menekankan pentingnya membersihkan hati dari sifat-sifat negatif (tasfiyah) dan meningkatkan spiritualitas melalui ketaatan kepada Allah dan pengabdian kepada-Nya (tarbiyah). Para murid diajarkan untuk mencapai kesucian batin dan penyerahan diri yang total kepada Tuhan.

Selain praktik spiritual, tarekat ini juga mendorong anggotanya untuk hidup bersama masyarakat dan berperan aktif dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Para murid diharapkan menjadi orang yang memberi manfaat kepada masyarakat dan membantu sesama manusia.

Dengan menjalankan ajaran-ajaran ini, praktisi Tarekat Naqshbandi meyakini bahwa pencapaian spiritual dapat dicapai melalui ketaatan tulus kepada Allah, membersihkan hati, dan pengabdian kepada guru mereka.

Tarekat Syadziliyah

Tarekat Syadziliyah diambil dari nama pendirinya Syaikh Ali bin Abdullah bin 'Abd al Jabbar Abu Hasan al Syadzili. Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan orang-orang garis keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dan dengan demikian, ia juga keturunan Siti Fatimah binti Muhammad saw.

Adapun pemikiran-pemikiran tarekat Syadziliyah yang digagas oleh Abu Hasan al Syadzili dan dilanjutkan oleh al Mursi kemudian ditata dikembangkan dan bukukan oleh Ibnu Atha'illah, sebagai berikut:

1. Tidak menganjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia. Ini sebagai indikator bahwa Syadziliyah tidak memisahkan diri dari unsur kehidupan duniawi. 

2. Tidak menggabaikan dalam menjalankan syari'at Islam ini artinya ibadah kepada Allah tidak cukup secara ruhani saja, namun juga jasmani. Menggabungkan antara fiqih dan tasawuf. 

3. Zuhud, tidak berarti menjauhi dan memusuhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan diri dari selain Allah SWT di dalam hatinya. Ini lebih menekankan esensi zuhud sesungguhnya, bukan sikap yang acuh kepada dunia. 

4. Tidak ada larangan bagi kaum salik untuk menjadi seorang miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta duna yang dimilikinya. Ini artinya, salik boleh menumpuk dan berkant hingga puncak, namun hatinya masih bisa terkontrol dengan baik dan ia tidak sedikit pun silau akan kemewahan yang bersifat fana.

5. Berusaha merespon apa yang sedang mengacam kehidupan umma berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual dengan urusan duniawi yang mendera masyarakat. Beraktivitas sosial dem kemaslahatan ummat adalah bagian dari hasil kontemplas.

6. Tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan-ketentuan-Nya Tasawa.

Tarekat khalwatiyah

Tarekat Khalwatiyah didirikan oleh Zahiruddin yang wafat pada tahun 1397 M di Khurasan dan merupakan cabang dari tarekat Suhrawardi yang didirikan oleh Abdul Qadir Suhrawardi (w. 1167 M). 

Konsep pemikiran tarekat khalwatiyah :

1. Khalwa (Penyendiran Diri): Konsep utama dalam Tarekat Khalwatiyyah adalah "khalwa," yang berarti penyendiran diri. Para murid diajarkan untuk menjalani periode penyendiran diri di tempat-tempat terpencil, jauh dari keramaian, untuk merenungkan diri dan mendekatkan diri kepada Allah. Khalwa dianggap sebagai cara untuk mendapatkan wawasan spiritual yang mendalam.

2. Dzikir dan Meditasi: Seperti tarekat sufi lainnya, praktik dzikir (pengingatan Allah) dan meditasi sangat penting dalam Tarekat Khalwatiyyah. Para murid melakukan dzikir secara rutin untuk mencapai kontemplasi spiritual dan mencapai kesadaran tentang kehadiran Allah.

3. Ketaatan kepada Guru Spiritual: Hubungan yang erat antara guru spiritual dan murid sangat ditekankan. Para murid diharapkan untuk mentaati nasihat dan petunjuk guru mereka. Ketaatan kepada guru dianggap sebagai sarana untuk mencapai kedekatan dengan Allah.

4. Tawassul (Penyampain Doa melalui Orang Suci): Dalam Tarekat Khalwatiyyah, tawassul adalah praktik meminta pertolongan atau doa melalui keberkahan orang suci atau guru spiritual yang telah wafat. Tawassul dipercaya dapat memperoleh berkat spiritual dan keberhasilan dalam pencarian spiritual.

5. Kesederhanaan dan Kebersamaan: Para anggota tarekat ini diajarkan untuk hidup dengan sederhana, menjauhi keserakahan, dan berbagi dengan sesama. Mereka diharapkan untuk memahami nilai-nilai kesederhanaan dan kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari.

6. Pemahaman tentang Hati: Tarekat Khalwatiyyah memandang hati sebagai pusat spiritualitas dan keyakinan bahwa pemurnian hati adalah langkah awal dalam pencarian spiritual yang mendalam.

7. Pengabdian kepada Masyarakat: Para anggota tarekat diharapkan untuk berperan aktif dalam masyarakat dan membantu mereka yang membutuhkan. Pelayanan sosial dan kegiatan amal juga ditekankan dalam konsep pemikiran ini. 

Tarekat Syattariyah

Tarekat Syattariyah merupakan tarekat mu'tabarah yang dinisbatkan kepada Abdullah al Syattar (w 890 H/1490 M), tarekat ini berakar ke tarekat Isyqiyyah di Iran atau Bistamiyyah (berasosiali dengan Abu Yazid al Busthami) di Turki Utsmani yang didirikan oleh Syihabuddin Abu Hats Umar al Suhrawardi (w 632 H/ 1234 M).

Konsep pemikiran tarekat syattariah :

1. Dzikir dan Meditasi: Seperti tarekat sufi lainnya, praktik dzikir (pengingatan Allah) dan meditasi merupakan unsur utama dalam Tarekat Shattariyyah. Para murid melakukan dzikir secara teratur dengan tujuan mencapai kesadaran spiritual yang mendalam dan kontemplasi tentang keberadaan Allah.

2. Khalwa (Penyendiran Diri): Tarekat Shattariyyah menekankan pentingnya penyendiran diri di tempat-tempat terpencil untuk mencapai penghayatan spiritual yang lebih mendalam. Selama periode penyendiran diri (khalwa), para murid merenungkan diri dan mendekatkan diri kepada Allah.

3. Tawajjuh (Perhatian Spiritual): Tawajjuh mengacu pada perhatian spiritual yang mendalam dan fokus mental terhadap kehadiran Allah. Para murid diajarkan untuk memusatkan pikiran dan perasaan mereka pada Allah dalam setiap aktivitas sehari-hari.

4. Hubungan dengan Guru Spiritual: Hubungan yang erat antara murid dan guru spiritual sangat penting dalam Tarekat Shattariyyah. Para murid memandang guru mereka sebagai penuntun spiritual yang membimbing mereka menuju kebenaran dan kesadaran spiritual.

5. Penyucian Hati (Tazkiyat al-Qalb): Konsep ini mencakup pemurnian hati dari sifat-sifat negatif seperti nafsu, iri hati, dan kebencian. Para murid diajarkan untuk membersihkan hati mereka dari hal-hal yang menghalangi kedekatan dengan Allah.

6. Pemahaman tentang Makna dan Simbolisme dalam Agama: Tarekat Shattariyyah cenderung mendekati agama dan ajaran sufi dengan cara yang simbolis dan mendalam. Mereka memahami makna-makna tersembunyi dalam ajaran Islam dan mencari pemahaman mendalam tentang kebenaran spiritual melalui simbolisme.

7. Ketaatan kepada Ajaran Islam: Meskipun mengutamakan dimensi spiritual, Tarekat Shattariyyah juga menekankan ketaatan kepada ajaran Islam. Mereka mengintegrasikan praktik-praktik sufi dengan prinsip-prinsip Islam, termasuk shalat, puasa, dan ketaatan kepada hukum-hukum agama. Ada tiga tahapan dalam memasuki tarekat ini yakni talqin adz dzikr (mengulang-ulang dzikir tertentu), akhidzu al and (mengambil sumpah haaf) dan libs al kingpali (mengenakan jubah). 

Tarekat Sammaniyah

Setelah kurang lebih satu abad dari kepopulerannya Ahmad al Qusyasyi dan Ibrahim al Kurani, muncullah Syaikh Muhammad bin Abdul Karim al Samman (1130-1189 H/1718-1775) di Madinah yang banyak dikunjugi orang orang Jawi.

Konsep pemikiran tarekat sammaniyah :

Tawhid (Kesatuan Allah): Seperti kebanyakan tarekat sufi, Tarekat Sammaniyah menekankan tawhid atau keyakinan akan kesatuan Allah. Para murid diajarkan untuk memahami dan mengalami kesatuan Allah dalam segala aspek kehidupan mereka.

Dzikir dan Meditasi: Praktik dzikir, atau pengingatan Allah, adalah elemen utama dalam Tarekat Sammaniyah. Para murid melakukan dzikir secara teratur dengan tujuan mencapai kesadaran spiritual yang mendalam dan mencapai kontemplasi tentang keberadaan Allah.

Hubungan Guru-Murid: Tarekat Sammaniyah menekankan pentingnya hubungan yang kuat antara guru spiritual dan murid. Para murid diharapkan mematuhi nasihat dan bimbingan guru mereka. Hubungan ini dianggap penting untuk mencapai pemahaman spiritual yang lebih dalam.

Pengendalian Diri dan Pembersihan Hati: Konsep ini melibatkan pengendalian diri dan pemurnian hati dari sifat-sifat negatif seperti nafsu, kemarahan, dan keserakahan. Para murid diajarkan untuk mengatasi hambatan-hambatan internal ini untuk mencapai kedekatan dengan Allah.

Kesederhanaan dan Keberadaan Sosial: Para anggota tarekat diharapkan hidup dengan sederhana, menjauhi keserakahan, dan mengabdi kepada masyarakat. Mereka diharapkan membantu sesama manusia dan memperbaiki kondisi sosial dalam komunitas mereka.

Pemahaman Simbolis terhadap Agama: Seperti beberapa tarekat sufi lainnya, Tarekat Sammaniyah sering mendekati ajaran Islam dan sufi secara simbolis. Mereka mencari pemahaman mendalam melalui simbolisme dan makna tersembunyi dalam ajaran-ajaran agama.

Pentingnya Kasih Sayang dan Kemanusiaan: Tarekat Sammaniyah menekankan pentingnya kasih sayang, kebaikan, dan empati terhadap sesama manusia. Mereka percaya bahwa kasih sayang adalah sifat ilahi yang harus tercermin dalam perilaku manusia.

Tarekat Tinajiyah

Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad al Tijani (1150-1230 H/1737-1815) yang lahir di 'Ain Madi, Aljazair Selatan, 119 dan meninggal di Fez, Maroko, dalam usia 80 tahun. Syaikh Ahmad Tijani diyakini oleh kaum tarekat Tijaniyah sebagai wali agung yang memiliki derajat tertinggi, dan memiliki banyak karomah (keramat), hal tersebut didukung oleh faktor geneologis, tradisi keluarga dan proses penempaan dirinya.

Konsep pemikiran tarekat tinajiyah:

Tawhid (Kesatuan Allah): Tawhid adalah konsep utama dalam Tarekat Tinajiyah, sebagaimana dalam kebanyakan tarekat sufi. Para murid diajarkan untuk memahami dan mengalami kesatuan Allah dalam segala hal. Keyakinan akan kesatuan Allah adalah pondasi dari praktik-praktik spiritual dalam tarekat ini.

Dzikir dan Meditasi: Dzikir, atau pengingatan Allah, merupakan praktik utama dalam Tarekat Tinajiyah. Para murid melakukan dzikir secara teratur dengan tujuan mencapai kesadaran spiritual yang mendalam dan mendekatkan diri kepada Allah. Meditasi dan kontemplasi juga ditekankan untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang keberadaan dan kehadiran Ilahi.

Hubungan Guru-Murid: Hubungan yang erat antara guru spiritual dan murid sangat penting dalam Tarekat Tinajiyah. Para murid diharapkan mematuhi nasihat dan petunjuk guru mereka. Hubungan ini dianggap penting untuk membimbing murid menuju pemahaman spiritual yang lebih dalam.

Penyucian Diri dan Penyerahan Total kepada Allah: Para murid diajarkan untuk membersihkan hati dan jiwa mereka dari sifat-sifat negatif seperti iri hati, kebencian, dan keserakahan. Mereka juga diajarkan untuk menyerahkan diri secara total kepada kehendak Allah, menerima segala ujian dan cobaan dengan kesabaran dan penuh keikhlasan.

Kesederhanaan dan Kehidupan Sederhana: Para anggota Tarekat Tinajiyah diharapkan hidup dengan sederhana, menjauhi keserakahan dan kemewahan duniawi. Mereka memandang kesederhanaan sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menjaga fokus spiritual.

Pengabdian kepada Kemanusiaan: Tarekat Tinajiyah menekankan pentingnya berbuat baik kepada sesama manusia. Para murid diharapkan untuk membantu orang yang membutuhkan dan berperan aktif dalam membantu masyarakat, menjalani hidup dengan penuh kasih sayang dan empati.

Tarekat Rifaiyah

Tarekat ini didirikan oleh Syaikh Rifa'i yang memiliki nama lengkap Ahmad bin Ali bin Abbas ar Rifai yang hidup sekitar tahun 512-578 H/1118-1183 M (abad 12 M), la lahir di desa Hasan dekat kota Bashrah.  

Konsep pemikiran tarekat rifaiyah:

1. Tawhid (Kesatuan Allah): Tawhid, atau keyakinan akan kesatuan Allah, adalah konsep sentral dalam Tarekat Rifaiyah. Para murid diajarkan untuk memahami dan mengalami kesatuan Allah dalam segala hal. Pemahaman tentang kesatuan Allah membimbing praktik-praktik spiritual dalam tarekat ini.

2. Dzikir dan Meditasi: Seperti tarekat sufi lainnya, dzikir (pengingatan Allah) adalah praktik inti dalam Tarekat Rifaiyah. Para murid melakukan dzikir dengan tujuan mencapai kesadaran spiritual yang lebih dalam dan mendekatkan diri kepada Allah. Meditasi dan kontemplasi juga ditekankan untuk mencapai pemahaman spiritual yang lebih mendalam.

3. Hubungan Guru-Murid: Hubungan yang kuat antara guru spiritual dan murid sangat penting dalam Tarekat Rifaiyah. Para murid diharapkan untuk tunduk kepada nasihat dan petunjuk guru mereka. Hubungan ini dianggap sebagai sarana utama untuk mencapai pemahaman spiritual yang lebih tinggi.

4. Pembersihan Batin (Tazkiyat al-Nafs): Para murid diajarkan untuk membersihkan hati dan jiwa mereka dari sifat-sifat negatif seperti iri hati, keserakahan, dan kedengkian. Pembersihan batin adalah langkah awal menuju pemahaman spiritual yang lebih dalam.

5. Pemahaman tentang Makna Kehidupan: Tarekat Rifaiyah membimbing para murid untuk memahami makna sejati dari kehidupan dan tujuan eksistensi manusia. Mereka diajarkan untuk mencari arti yang lebih dalam dalam setiap tindakan dan pengalaman, serta merenungkan tentang keberadaan Ilahi.

6. Kesederhanaan dan Pengabdian kepada Allah: Para anggota Tarekat Rifaiyah diharapkan hidup dengan sederhana, menjauhi kemewahan duniawi, dan menjalani hidup dengan penuh pengabdian kepada Allah. Mereka meyakini bahwa kesederhanaan adalah kunci untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

7. Pengabdian Sosial dan Kemanusiaan: Tarekat Rifaiyah mendorong para muridnya untuk berperan aktif dalam membantu masyarakat dan membantu orang-orang yang membutuhkan. Pengabdian sosial dan kegiatan amal juga ditekankan dalam konsep pemikiran ini.

Tarekat Alawiyah

Tarekat ini dinamakan 'Alawiyah karena menisbatkan kepada pendirinya yakni Imam Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al Muhajir, di mana ia keturunan Imam Ahmad bin Isa al Muhajir yang merupakan datuk (moyang) kaum "Alawiyyin Kaum 'Alawiyyin.

Konsep pemkiran tarekat alawiyah : 

1. Tawhid (Kesatuan Allah): Tawhid adalah konsep fundamental dalam Tarekat Alawiyah. Para murid diajarkan untuk memahami dan merasakan kesatuan Allah dalam segala aspek kehidupan mereka. Kesatuan dengan Tuhan merupakan tujuan utama dalam praktik-praktik spiritual tarekat ini.

2. Dzikir dan Meditasi: Seperti tarekat sufi lainnya, dzikir (pengingatan Allah) dan meditasi adalah praktik utama dalam Tarekat Alawiyah. Para murid melakukan dzikir secara rutin dengan tujuan mencapai kesadaran spiritual yang lebih dalam dan mendekatkan diri kepada Allah.

3. Hubungan Guru-Murid: Hubungan yang erat antara guru spiritual dan murid sangat penting dalam Tarekat Alawiyah. Para murid diharapkan untuk menghormati dan mematuhi nasihat serta petunjuk guru mereka. Hubungan ini dianggap sebagai jalan menuju pemahaman spiritual yang lebih tinggi.

4. Pencarian Batin (Tahqiq al-Batin): Para murid diajarkan untuk memahami dan menjelajahi dimensi batiniah (rohaniah) dari eksistensi manusia. Mereka mencari pemahaman mendalam tentang hati dan jiwa mereka, serta mencari Tuhan di dalam diri mereka sendiri.

5. Kesederhanaan dan Pengendalian Diri: Para anggota Tarekat Alawiyah diharapkan hidup dengan sederhana, menjauhi keserakahan dan kemewahan. Pengendalian diri dalam hal-hal seperti makanan, tidur, dan emosi dianggap penting untuk mencapai kedekatan dengan Allah.

6. Pengabdian kepada Masyarakat: Tarekat Alawiyah menekankan pentingnya pengabdian kepada masyarakat dan pelayanan sosial. Para murid diharapkan untuk membantu orang yang membutuhkan, membela hak-hak manusia, dan berperan aktif dalam memperbaiki kondisi sosial.

7. Keberagaman dan Toleransi: Tarekat Alawiyah menganut nilai-nilai toleransi dan menghormati keberagaman. Mereka mengajarkan kesetaraan, perdamaian, dan kerjasama antarumat beragama dan budaya.

Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah 

Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah tarekat gabungan antara tarekat Qadiriyah yang didirikan Syaikh Abdul Qadir al Jilani (470- 561 H/1077-1166 M) dan tarekat Naqsyabandiyah yang didirikan Muhammad bin Baha al-Din al-Uwaisi al-Buhkhari (717-791 H/1318-1389 M) oleh ulama' Indonesia yaitu Shaikh Ahmad Khatib As-Sambas Kalimantan Barat (1217-1289 H/1803-1872 M).

Konsep pemikiran tarekat qadiriyah wa naqsabandiyah:

1. Tawhid (Kesatuan Allah): Seperti tarekat sufi lainnya, konsep kesatuan Allah adalah dasar dari pemikiran dalam Tarekat Qadiriyyah wa Naqshbandiyyah. Para murid dipandu untuk memahami dan merasakan kesatuan Allah dalam segala hal.

2. Dzikir dan Meditasi: Dzikir, atau pengingatan Allah, adalah praktik utama dalam kedua tarekat ini. Para murid melakukan dzikir dan meditasi secara teratur dengan tujuan mencapai kesadaran spiritual yang lebih dalam dan mendekatkan diri kepada Allah.

3. Hubungan Guru-Murid: Hubungan yang erat antara guru spiritual dan murid sangat penting dalam Tarekat Qadiriyyah wa Naqshbandiyyah. Para murid diharapkan untuk menghormati, mematuhi, dan mempercayai nasihat guru mereka. Hubungan ini dianggap sebagai jalan menuju pemahaman spiritual yang lebih tinggi.

4. Pembersihan Batin (Tazkiyat al-Nafs): Para murid diajarkan untuk membersihkan hati dan jiwa mereka dari sifat-sifat negatif seperti iri hati, keserakahan, dan kedengkian. Proses pembersihan batin adalah langkah penting menuju pemahaman spiritual yang lebih dalam.

5. Kesederhanaan dan Pengendalian Diri: Para anggota tarekat diharapkan hidup dengan sederhana, menjauhi kemewahan duniawi, dan mengendalikan nafsu dan emosi mereka. Kesederhanaan dianggap sebagai kunci untuk mendekatkan diri kepada Allah.

6. Pengabdian Sosial dan Kemanusiaan: Tarekat Qadiriyyah wa Naqshbandiyyah menekankan pentingnya berbuat baik kepada sesama manusia. Para murid diharapkan untuk membantu orang yang membutuhkan dan berperan aktif dalam memperbaiki kondisi sosial dan kemanusiaan.

7. Pemahaman Mendalam tentang Agama: Para murid diajarkan untuk memahami agama dengan cara yang mendalam. Mereka mencari pemahaman yang lebih dalam tentang kitab suci, hadis, dan ajaran Islam lainnya untuk mendapatkan wawasan spiritual yang lebih tinggi.

8. Pengendalian Nafsu dan Emosi: Para murid diajarkan untuk mengendalikan nafsu dan emosi mereka, mempraktikkan sabar, dan menghadapi cobaan hidup dengan ketabahan dan keikhlasanTop of Form

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun