Mohon tunggu...
Elina Zahra
Elina Zahra Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa Magister, Spesialisasi Hukum Pidana dan Hukum Ekonomi

Advokat Magang yang mencintai proses sebuah penelitian ilmiah.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

PSBB Kebijakan Kebal Hukum?

13 September 2020   20:31 Diperbarui: 13 September 2020   20:34 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pemprov DKI

Dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 Pasal 1 (11) Tentang Kekarantinaan Kesehatan mengatur bahwa

"Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi."

 Lebih lanjut Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 dan Permenkes No. 9 Tahun 2020 Pasal 1 (1) mengatur bahwa

"Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9)."

 WHO dalam laman resminya juga menghimbau social distancing untuk penanganan pandemi covid-19 ini yakni:

"Stay at least one metre distance from others. By maintaining such social distancing, you are helping to avoid breathing in any droplets from someone who sneezes or coughs in close proximity."[1]

Social distancing yang dimaksud WHO disini adalah pembatasan jarak tubuh antar manusia bukan pembatasan sosial dalam artian hubungan komunikasi antara manusia yang bisa dilakukan lewat teknologi ataupun suara dalam jarak tertentu WHO dalam perkembangannya menggunakan istilah Physical Distancing dan meninggalkan istilah Social Distancing untuk menghindari kesalahpahaman publik.

Di Indonesia Pembatasan Sosial dirangkai dalam suatu regulasi dan diberi tambahan kata "Skala Besar" ini kebijakan lokal Indonesia dalam mengangani Covid-19 yang semakin masif di wilayahnya. Pengaruh dari munculnnya kebijakan ini melahirkan prosedur yang konkret di masyarakat berupa larangan dan instruksi tertentu diantaranya :

  • peliburan sekolah dan tempat kerja;
  • pembatasan kegiatan keagamaan;
  • pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum;
  • pembatasan kegiatan sosial dan budaya;
  • pembatasan moda transportasi; dan
  • pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.

 Dalam Permenkes No. 9 Tahun 2020 Pasal 18 juga mengatur, yakni :

"Dalam rangka pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar, instansi berwenang melakukan penegakan hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan."

Kebijakan PSBB ini selain melahirkan larangan dan instruksi juga melahirkan sanksi bagi pelanggarnya, penangkapan terhadap masyarakat yang melanggar kebijakan PSBB ini juga dapat dilakukan aparat penegak hukum di Indonesia.

Di masa pandemi ini ada 4 pilihan kebijakan pemerintah dalam rangka pemutusan rantai virus corona lewat pengendalian interaksi manusia, yakni:

1. Karantina Rumah

2. Karantina Rumah Sakit

3. Karantina Wilayah

4. PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar)

Pada kebijakan karantina (rumah, rumah sakit, Wilayah) kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.

Sedangkan PSBB dalam pengaturannya tidak ada kewajiban pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan hidup dasar dan makanan hewan ternak, karena pada hakikatnya PSBB adalah "PEMBATASAN" bukan pemberhentian, pelarangan ataupun penghilangan aktivitas warga negara.

Pembatasan sosial merujuk kepada physical distancing menurut WHO, dan Skala Besar adalah sistem pengawasan protokol kesehatan (Masker, jaga jarak , hand sanitizer) oleh pemerintah di tempat warga negara beraktivitas.

Pembatasan sosial yang diperketat lewat regulasi yang ada sekarang melahirkan konsekuensi yang sama yaitu terancamnya kebutuhan dasar orang dan regulasi ini juga mampu mengubah pola perilaku masyarakat secara drastis dan lebih jauh menciptakan kondisi karantina wilayah tanpa karantina wilayah sesuai prosedur hukum yang berlaku.

Gubernur DKI Jakarta beberapa kali menyatakan bahwa pada PSBB tidak ada pelarangan keluar masuk Jakarta, bagi penulis hal ini tidak cukup untuk melegitimasi segala peraturan turunan terkait kebijakan PSBB yang ada dan tetap bisa dikatakan sesuai dengan Undang-undang yang berada diatasnya (Hakikat PSBB menurut UU Kekarantinaan Kesehatan).

Sahabat Kompasiana, Apakah kebijakan tanpa penghormatan terhadap hukum yang berlaku bijak untuk diterapkan? Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia adalah salah satu dasar hukum yang menghidupkan penegakan HAM di Indonesia.

Selanjutnya pada tanggal 23 September 1999 diberlakukanlah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hak-hak secara garis besar yang diatur dalam UU tersebut adalah :

  • Hak untuk hidup;
  • Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan;
  • Hak mengembangkan diri;
  • Hak memperoleh keadilan;
  • Hak atas kebebasan pribadi;
  • Hak atas rasa aman;
  • Hak atas kesejahteraan;
  • Hak turut serta dalam pemerintahan;
  • Hak wanita;
  • Hak anak.

Pada prinsipnya dalam hukum HAM, negara c.q pemerintah mempunyai kedudukan sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) dan individu-individu yang berdiam di wilayah jurisdiksinya sebagai pemegang hak (rights holder).

Kewajiban yang diemban negara adalah kewajiban untuk menghormati (to respect), kewajiban untuk memenuhi (to fulfill), dan kewajiban untuk melindungi (to protect) HAM bagi warganya.[2]

Penggunaan istilah yang menurut penulis makin terasa dampak sosiologisnya, PSBB Total, PSBB Transisi, New Normal dan seterusnya. Apakah hal itu bisa dianggap tidak membahayakan bagi keberlangsungan hidup rakyat Indonesia? Apakah PSBB versi gubernur-gubernur di Indonesia dijamin akan tetap menghormati hukum dan hak asasi warga negara Indonesia? 

Ketika kebijakan PSBB melarang segala aktivitas yang merupakan hak masyarakat dalam mempertahankan hidupnya atau itu adalah hak asasi nya maka pemerintah disini harus bertanggung jawab dalam kebutuhan-kebutuhan dasar orang yang tidak dapat dipenuhi karena pembatasan tersebut. Ketika bantuan pemerintah tidak terorganisir dan jumlahnya tidak sesuai dengan rakyat yang terkena dampak maka itu berarti pelarangan-pelarangan tersebut dapat lebih lanjut ditinjau dari sudut pelanggaran HAM.

Kepolisian melakukan penangkapan terhadap belasan orang yang diduga melanggar aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus mengatakan, 18 orang itu diamankan lantaran tidak mengindahkan seruan jaga jarak (social distancing) meski telah tiga kali diperingatkan.

Sebanyak 11 orang ditangkap lokasi di Bendungan Hilir, dan 7 orang lokasi di Sabang, Jakarta Pusat. Selain itu, ada juga penangkapan 20 orang di Jakarta Utara. Ada yang ditangkap sedang berolah raga di tempat gym, ada yang di kafe, dan ada yang sedang nongkrong.

Polisi menggunakan Pasal 93 juncto Pasal 9 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Pasal 218 KUHP untuk menjerat mereka yang ditangkap.[3]

Menurut Prof Yusril Ihza dalam wawancara di acara medcom.id tanggal 16 April 2020 Pasal yang dirujuk tersebut adalah bukan untuk kebijakan PSBB tapi itu bisa dikenakan jika pemerintah melakukan kebijakan karantina wilayah, pasal 9 adalah tentang karantina wilayah bukan untuk PSBB. Selain isu penangkapan ini juga masih banyak isu lainnya akibat PSBB yang mengancam hak asasi manusia di Indonesia.

COVID 19 telah banyak memakan korban, kebijakan-kebijakan versi gubernur tanpa melihat akibat secara mendalam (misalnya : hanya berdasarkan kekurangan kasur rumah sakit) justru akan melahirkan korban COVID 19 tanpa positif virus COVID 19 (korban ekonomi, sosial, psikologis, kriminalisasi, dll).

Hukum yang berlaku (UU kekarantinaan Kesehatan, UU HAM, TAP MPR, dll) juga tetap harus dihormati dalam pengambilan keputusan kebijakan pemerintah daerah ataupun pusat karena status darurat kesehatan tidak serta merta melegitimasi pengabaian tersebut. PSBB kebijakan kebal hukum? SEKIAN.

(1) who.int

[2] Manfred Nowak, Introduction to The International Human Rights Regime, (Leiden : Nijhoff Publisher, 2003) hlm. 48-49

(3) hukumonline.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun