Mohon tunggu...
Ahmad Elgibrany
Ahmad Elgibrany Mohon Tunggu... -

nothing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Aja Gak Cukup

27 Desember 2014   05:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:23 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalau cuma itu, aku bisa jelasin semua lewat telepon." Suaranya terdengar setengah malas dari ujung telepon. Lalu dengan nada sedikit tinggi, "sekarangpun bisa, aku..."

"Bukan cuma itu," potongku. "Aku pengen ketemu kamu."

"Untuk apa!?"

"Untuk memastikan!"

**

Pertengahan Desember 2010, awan keabu-abuan mewarnai langit kota Denpasar. Hujan sepertinya akan sangat deras, tapi malu-malu. Suasana hati sedang tidak menentu. Ada sesuatu yang terus menggantung. Berupa tanda tanya dan jawaban kosong dari pernyataan berkabut. Tentang cinta.

Jumat sore, pukul 14:45 WITA, aku duduk menunggu bus di Terminal Ubung, Denpasar. Deretan bus antar kota antar propinsi berjejer di jalur keberangkatan. Jadwal reguler bus jurusan DIY & Jawa Tengah adalah jam tiga sore, setiap hari. Tiket PO Bus Safari Dharma Raya jurusan Denpasar-Yogyakarta telah kupegang. Tertulis pada tiket jam keberangkatan pukul 15:00 WITA.

Bus AKAP bergambar gajah berangkat tepat pukul tiga sore. Mendung makin memekat saat Bus merayap di atas aspal jalan raya. Kemudian gerimis dan hujan menemani seribu pertanyaan selama perjalanan. Keresahan menyelimuti kilometer demi kilometer dalam waktu tidak kurang dari enam belas jam. Menuju sebuah kota di selatan pulau Jawa bagian tengah.

**

Sabtu pagi, pukul 07:05 WIB, Jalan Janti, Yogyakarta. Ketika matahari bersembunyi di balik awan mendung. Warna keabuan, mendominasi langit di sekitar Ring Road. Kutekan nomor Handphone-nya, untuk mengabari bahwa aku sudah tiba di Jogja. Nomor tidak aktif.

Sabtu siang pukul 10:00 WIB, Jalan Nogosari, Yogyakarta. Mendung bergeser sedikit ke arah utara Jogja. Sinar matahari menyeruak masuk dari sela-sela awan yang bergerak perlahan. Jogja terbelah antara cerah berawan di selatan dan mendung yang pekat di utara. Kucoba lagi menghubungi nomor yang sama. Masih tidak aktif. Kucoba nomor lain, juga tidak aktif.



*)Hampa kesal dan amarah
S’luruhnya ada dibenakku
Tandai seketika
Hati yang tak terbalas
Oleh cintamu..

Kuingin marah, melampiaskan tapi ku hanyalah sendiri disini
Ingin ku tunjukkan pada siapa saja yang ada
Bahwa hatiku kecewa..

Mendung dan gerimis bergantian ikuti langkah kaki sampai di dekat Jalan Benteng. Aroma wangi kopi menyeretku ke sebuah warung kopi kecil. Kutekan lagi nomor Handphone-nya untuk kesekian kali. Kali ini bisa tersambung, tapi no respon. Terpaksa kutinggalkan pesan singkat. Juga tidak ada balasan. Sampai menjelang sore, tidak satupun balasan pesan singkat yang masuk. Apalagi telepon.

Sabtu menjelang sore, pukul 15:30 WIB, Jalan Benteng, Jogja. Sebuah pesan singkat yang benar-benar singkat berbunyi --bagaimana?

Segera kubalas --aku sudah di jogja. bisa ketemu sekarang?

Dia membalas --ok. tunggu aku di dekat alun-alun kidul.

Sekitar setengah jam aku menunggu. Sebait kerinduan terobati saat melihatnya dari kejauhan. Masih dengan sepeda motor Yamaha Mio berwarna hitam dan mengenakan jaket sporty berwarna merah. Beberapa saat kemudian mendekat. Senyum yang lama ku kenang. Seuntai harap agar semua baik-baik saja.

**

"Tadi pagi aku telepon, tapi gak aktif. Terus SMS, beberapa kali," kataku perlahan.

"Oh, iya, aku baru aktifin HP siang tadi," sahutnya.

"Kamu kemana aja kok baru aktifin HP?"

"Aku keliling cari baju untuk kerja." Dia menunjukkan bungkusan dalam tas plastik berwarna keabuan.

"Sama siapa?"

"Sendiri. Sama siapa lagi?"

"Gak sama temen?"

"Aku udah biasa sendiri."

**

Beberapa saat terjebak dalam pertanyaan dan jawaban yang menjemukan. Pertemuan yang mungkin dipaksakan. Aku kehabisan pertanyaan. Kunyalakan lagi sebatang rokok mild-ku, berharap kata larangan –jangan banyak-banyak merokok. Namun dia tidak peduli. Aku membuka pembicaraan lagi, "akhir-akhir ini komunikasi kita sedikit beda dari sebelum-sebelumnya."

"Biasa aja. Kamu aja yang terlalu sensi." Tandasnya.

"Aku ngerasain beda sejak kamu pelatihan di Bogor bulan lalu."

"Namanya juga lagi pelatihan. Ya, aku sibuk banget."

"Dari gaya bahasamu. Entah itu di SMS, atau telepon. Beda banget."

"Ahh, itu cuma perasaanmu aja. Terlalu berlebihan."

"Aku udah coba ngelawan perasaan, tapi sulit."

"Yang sulit kan kamu. Harusnya bisa kamu sederhanakan. Berpikir, waktu-waktu mana yang bisa telfon atau sms. Bukan berpikir yang bukan-bukan."

"Iya mungkin. Tapi yang jelas perubahan drastis ini sejak kamu ke Bogor. Kata-kata 'Aku sibuk, waktu yang tepat, dan berpikir' adalah kata-kata yang sebelumnya tabu."

"Biasa aja. Kamu selalu berlebihan dalam menilai sesuatu."

"Bagiku itu perubahan luar biasa."

"Masih banyak hal yang lebih penting yang harus dikerjakan. Bukan cuma ngurusin telepon atau SMS."

"Update Facebook bisa, bahkan sampai upload foto team gathering-lah-outbond-lah. Tapi membalas SMS atau angkat telepon sama sekali gak bisa. Bahkan sampai dua hari gak bisa dihubungi karena 'nomor telepon yang anda hubungi sedang tidak aktif.'"

"Kamu pikir aku sedang menyembunyikan sesuatu?"

"Mungkin aku layak curiga."

"Tuduhanmu menjijikkan."

**


Senyum dan tatapan asing, dengan cara memandang seperti orang lain. Tidak seperti yang ku kenal selama ini. Aku benar-benar menjadi orang lain. Terasing atau diasingkan, atau entahlah.

Dia memandang sekeliling, lalu membaca sebuah pesan singkat dari ponselnya. Kemudian dia berkata kepadaku, "sudahlah, aku disini baik-baik aja. Gak ada sesuatu pun yang patut kamu reka-reka."

"Seandainya komunikasi kita masih berjalan apa adanya, mungkin aku gak bertanya-tanya."

"Sekali lagi, disini aku mulai lagi dari nol. Tentang masa depan."

"Sama, aku juga."

"Apa?" Dia menatapku sebentar, lalu melanjutkan, "usahamu apa? kamu nyaris gak berusaha apapun untuk hubungan kita."

Aku menjawab pelan, "mungkin belum maksimal, tapi paling gak aku juga kembali merintis."

"Me-rin-tis...ohh, ya? Aku gak liat perubahan apa-apa dari satu tahun kemarin."

"Hmm, perubahan ada tapi belum sesuai keinginanmu," kilahku.

"Sampai aku kembali kesini, apa yang bisa aku liat sebagai hasil usahamu?"

"Kalau materi mungkin memang belum ada. Tapi aku masih berusaha."

"Aku gak yakin kamu berusaha apapun. Yang aku tahu kamu mencintai tapi gak mau berkorban dan berusaha."

"Yaah, berusaha tapi belum maksimal. Mungkin belum kaya. Tapi hidup biasa-biasa dan sederhana juga bisa bahagia."

"Maaf. Aku gak sanggup jadi biasa."

"Iya, aku tahu itu," selaku, "kalau ukurannya materi aku gak ada apa-apanya."

"Ini bukan cuma masalah materi. Bukan itu. Ini realistis. Cinta aja gak cukup."

**


Sabtu malam pukul 19:00 WIB, Jalan Langenastran Lor, Jogja.


Hening.


Aku dan dia saling diam. Sama-sama tertunduk. Kelelahan menghampiri setelah beberapa jam tidak juga menemui titik temu.

"Banyak perbedaan diantara kita. Kita gak mungkin berjodoh lagi. Mungkin sampai disini." Katanya lirih.

Aku berusaha tenang, "bukannya perbedaan itu memperkaya hubungan?"

"Perbedaan kita terpaut jauh. Perbedaan yang sangat berbeda ini memisahkan. Pepatah 'perbedaan-memperkaya' itu tidak sesuai ditempatkan pada kondisi kita sekarang."

"Perbedaan itu menyatukan, bukan memisahkan."

"Ada hal-hal dimana perbedaan kita justru menjauhkan.

Kamu lebih baik disana. Aku, lebih baik disini. Ayah dan ibu memerlukan aku, dan kamu gak bisa memenuhi keinginanku. Aku capek dengan hubungan ini. Kamu cinta tapi gak mau berkorban."

**


Minggu pagi, ketika di atas kepala nampak sebuah bayangan sepertikabut. Ketika sisa hujan abu vulkanik Gunung Merapi mewarnai langit Yogyakarta. Aku terdiam memandang sudut demi sudut berwarna keabu-abuan. Menunggu sebuah kereta jurusan Surabaya berangkat, di Stasiun Lempuyangan.

Kulihat jam di tangan, sepuluh menit lagi kereta akan berangkat. Seribu pertanyaan saling tumpah tindih. Namun tidak satupun bisa kujawab. Aku terdiam dan hanya memandang ke luar jendela kereta.

Aku masih rindu. Aku begitu mencintainya, tapi aku tidak bisa berbuat banyak sesuai keinginannya. Dan peluit sudah dibunyikan petugas kereta. Lokomotif sepertinya akan segera menarik gerbong tanpa gairah. Kereta api bergerak tidak terlalu cepat. Berjalan di atas rel baja yang tenang. Aku terpaku pada sebuah pesan singkat: don't back to jogja.

Lama ku ulang membaca pesan singkat darinya. Meyakinkan diri bahwa yang aku baca adalah benar-benar SMS darinya. Aku baca lagi, lagi, dan lagi. Sampai beberapa kali, baru kemudian kualihkan mata pada rintik dan bulir hujan yang mengalir di jendela kereta. Dada rasa tertusuk.

Kereta api makin menjauh, menjauh, dan menjauh dari Stasiun Lempuyangan. Awan pekat menghitam. Hujan turun. Rintik menyerah di atas bebatuan dan rel kereta api.



**)Tuhanku, satu-satunya yang kupinta dariMu adalah
dekaplah ia saat aku tak di sisinya,
Saat aku sangat jauh darinya


@elgibrany | dps.2014

*) Penggalan lirik “Kecewa” Bunga Citra Lestari

**) Penggalan lirik “Dear God” Avenged Sevenfold

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun