Martin berlari-lari kecil di sepanjang tepi pantai. Tidak peduli separuh kakinya belepotan pasir dan tubuhnya yang bertelanjang dada berkali oleng, nyaris terjatuh.
"Terima kasih, Madam! Aku berjanji akan menemuimu kelak!" Sambil masih terus berlari ia berseru lantang. Suaranya menggema bersaing dengan deru angin yang berebut menampar wajah sederetan pohon nyiur.
Puas melampiaskan kegembiraan, Martin mengayun langkah menuju sebuah toko yang menjual beragam asesoris dan busana pantai. Dan, di sanalah ia bertemu Linda, sang pemilik toko.
"Anda sudah menikah?" Martin bertanya tanpa basa-basi. Linda terperangah. Pipinya yang bulat sontak bersemu merah.
"A-ku masih perawan." Linda menyahut pelan. Martin terbelalak. Tapi hanya sebentar. Matanya yang coklat kembali menatap sederetan kemeja berwarna cerah yang terpajang rapi di dekat etalase.Â
"Aku sering melihat para lelaki kaya memakai baju semacam ini saat mereka berlayar bersama istri-istri mereka." Martin berkata sembari melepas satu kemeja bermotif bunga-bunga dari gantungan pakaian sebelum kemudian mencobanya. Linda tersenyum. Diam-diam perempuan itu merasa senang dengan kedatangan Martin. Ia berharap Martin benar-benar membeli kemeja bermotif itu. Bukan sekadar menawar saja.
"Khusus untuk Tuan, aku beri diskon." Linda berkata ramah. Martin mengangguk. Tapi kemudian dengan tatap memelas lelaki itu menyahut, "Aku tidak punya uang untuk membayar kemeja bagus ini. Tapi aku bisa menjadi suami Anda. Itu---jika Anda bersedia."
***
Martin dan Linda akhirnya benar-benar menikah. Mereka menggelar pesta sederhana di tepi pantai saat matahari tinggal separuh wajah. Martin memakai kemeja bermotif bunga-bunga berwarna cerah dan Linda mengenakan gaun polos putih yang dijahitnya sendiri. Keduanya tampak bahagia sekali.
Dan, kebahagiaan itu terus berlangsung hingga pernikahan mereka memasuki tahun kedua. Martin terlihat semakin gagah dan tampan. Demikian juga Linda. Perempuan itu-sejak menikah aura kecantikannya kian terlihat memancar. Mungkin karena ia merasa bahagia bersuamikan Martin yang telah memperlakukan dirinya dengan sangat baik dan romantis.
Selain itu Martin juga membawa hoki bagi kehidupan Linda. Sejak menikah dengan lelaki itu, toko pakaian yang dikelolanya semakin besar dan menggurita. Kini keduanya kerap berkeliling dunia dengan kapal pesiar seperti layaknya para pengusaha-pengusaha kaya yang selama ini kerap dilihat dari jauh oleh Martin.
***
Suatu hari mereka berkunjung ke Pantai Lucky Bay. Pantai terindah yang terletak di sisi selatan Australia Barat. Mereka menyewa bungalow dengan kamar menghadap tepat ke arah laut lepas. Linda tampak begitu ceria saat membuka tirai jendela. Berkali ia memanggil Martin seraya menunjuk ke arah pasir putih yang membentang luas, yang sore itu tengah disinggahi sekawanan kanguru.
Martin sedang menyeduh secangkir kopi ketika suara nyaring Linda kembali memanggilnya. Dengan langkah ringan laki-laki itu menghampiri istrinya yang masih berdiri terkagum-kagum menatap ke luar jendela.
"Martin, kaulihat sepasang kanguru itu? Aku seperti melihat cerminan diri kita!" Linda berseru renyah.
"Oh, ya?" Martin menarik kembali cangkir kopi yang hampir menyentuh bibir.
"Ya, kita! Kita berlarian di sepanjang pantai sambil menggendong bayi mungil yang..." Sampai di sini suara Linda berubah lirih. Martin terdiam. Ia paham bagaimana perasaan istrinya saat itu. Linda sudah sangat menginginkan punya momongan. Tapi sayangnya hingga kini keinginan itu belum terpenuhi.
Sejenak Martin merasa bersalah. Mengapa sampai saat ini ia belum juga berani memberi Linda seorang anak? Bukankah salah satu tujuan pasangan menikah adalah memiliki keturunan?
Martin tak sanggup membalas tatapan redup Linda. Tapi kemudian ia mendekat, melingkarkan satu tangan di pinggang ramping istrinya itu dan membuang rasa bersalahnya jauh-jauh.
***
Malam belum terlalu larut ketika Martin memutuskan untuk berjalan-jalan di sepanjang pantai berpasir putih yang konon dicanangkan sebagai pantai terindah di dunia itu. Ia sengaja tak beralas kaki dan bertelanjang dada. Sama persis saat pertama kali dirinya terlempar dari tengah laut hingga ke bibir pantai.
Terlempar dari tengah laut?
Tiba-tiba saja ingatan itu menyeruak kembali. Ingatan tentang sosok penyihir jahat bernama Glinda yang menangis sesenggukan di ujung tebing yang berada di tengah laut. Ingatan tentang bagaimana ia berjalan perlahan mendekati penyihir itu dan bertegur sapa. "Madam, ada yang bisa saya bantu?"
Glinda-penyihir jahat itu, sontak menoleh kaget. Diamatinya Martin dengan mata setengah terpicing.Â
"Aku butuh teman bicara. Aku bosan menjadi penyihir jahat." Ujarnya dengan mimik setengah merengut.Â
"Oh, itu bagus!" Martin berseru girang. Glinda membungkukkan badan. Matanya yang cekung menatap tajam ke arah Martin.
"Mintalah sesuatu. Pasti akan aku kabulkan. Mumpung aku sedang ingin menjadi baik." Glinda mengelus perlahan tubuh keras Martin. Mertin menggeliat. Berpikir sesaat. Keinginan apa yang selama ini ada di angan-angannya tapi mustahil untuk diwujudkan?
"Oh, ya! Bisakah Madam menyihir saya menjadi manusia?" Agak ragu Martin mengajukan permohonan. Mendengar itu Glinda sontak tertawa terbahak-bahak hingga air matanya bercucuran membasahi pipinya yang keriput. Lalu, sebelum Martin sempat berkata apa-apa lagi, tiba-tiba saja ia sudah mengubah sosok mungil bercangkang keras, bercapit banyak itu menjadi lelaki tampan yang berlari-lari kecil di sepanjang pantai.
Sekarang kalian pasti sudah tahu, bukan? Mengapa Martin tidak ingin memberi Linda keturunan.Â
***
Malang, 10 Oktober 2024
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H