"Saya ingin membeli hio, Bu." Tiba-tiba saja terucap kata-kata itu dari bibir saya. Hio? Saya bahkan tidak tahu untuk apa saya membelinya.Â
Si Ibu menganggukkan kepala. Sesudahnya ia menyodorkan beberapa bungkus hio ke hadapan saya. Tanpa pikir panjang saya meraih hio yang dibungkus dengan kertas berwarna hijau.Â
"Saya mau yang ini, Bu," ujar saya sembari menyerahkan selembar uang.Â
Sesaat menunggu si Ibu menghitung uang kembalian, tak sengaja mata saya tertuju pada sebuah ruangan di samping rumah berbentuk unik itu. Ruangan yang pintunya dibiarkan terbuka.Â
Jantung saya sontak berdegup kencang.Â
Ruangan itu! Di dalamnya terdapat banyak sekali lukisan terpajang di dinding.Â
Dan, jantung ini semakin berdegup tak karuan manakala sudut mata menangkap sesuatu. Sesuatu yang dibiarkan tergeletak di atas kursi gelondong kayu.Â
Sama persis seperti yang terlihat di dalam mimpi saya semalam.Â
***
"Uang kembaliannya ternyata kurang, Mbak. Hio-nya boleh dibayar nanti saja pas Mbaknya pulang." Suara si Ibu membuyarkan lamunan saya.Â
Dengan gugup saya mengangguk. Dan, sebelum beranjak pergi saya bertanya kepada si Ibu. "Bu, bolehkah saya nyuwun bunga sedap malam yang tergeletak di atas kursi kayu itu?"
Si Ibu sejenak menatap saya. Tapi kemudian ia berjalan memasuki ruangan untuk mengambil setangkai bunga sedap malam yang saya maksudkan.Â