Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Tangis Pilu di Jalan Tol

1 Juli 2023   04:59 Diperbarui: 1 Juli 2023   05:05 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.goodnewsfromindonesia.id


Di awal musim hujan seperti ini, kisah romantis apa yang ingin kaualami? Mungkin kau berharap ada Peri Bulan yang jatuh di hadapanmu, lewat atap rumahmu yang berlubang. Lalu Peri Bulan itu akan membuatkanmu secangkir kopi dan menemanimu menghabiskan malam hanya berdua saja.

Ya, berdua saja.

Kutulis kalimat panjang itu pada selembar daun yang jatuh tertiup angin.

Aih. Mendadak aku ingin menjelma menjadi Peri Bulan agar bisa menyelinap lewat atap rumah kontrakan itu. Mengintip seorang pria yang sedang meringkuk kedinginan di balik selimut kumal, yang entah, sudah berapa lama tidak dicuci.

***

"Namaku Ibas.' Pria itu berkata tiba-tiba. Membuat jantungku nyaris terlompat keluar. Aku mundur beberapa langkah seraya membatin, apakah aku sudah berubah menjadi Peri Bulan sehingga dia bisa melihat kehadiranku?

"Kaudengar, bukan? Namaku Ibas. Aku penghuni baru rumah kontrakan ini. Kau pasti gagal paham mengapa aku memilih menempati bangunan yang kondisinya rusak parah seperti ini."

"Jelas aku paham! Itu kaulakukan karena harga sewa kontrakannya sangat murah. Sebagai sopir pribadi yang setiap hari harus wira-wiri mengantar majikanmu keluar kota, berapa sih gaji bulanan yang kauterima?"

Hampir saja aku mengatakan kalimat itu kalau saja telunjuk tangannya tidak terburu menuding ke arah seekor cicak yang merayap perlahan di dinding.

"Pergilah buaya kecil! Aku sudah memperkenalkan diri kepadamu. Lagi pula apa untungnya sesama jomblo malam-malam saling bersitatap pandang?" Ujarnya seraya melepas tawa renyah. 

Huuuft, sontak aku menarik napas lega.

Ya, lega. Ternyata dia---pria bernama Ibas itu tidak menyadari kehadiranku di dalam kamar berukuran sempit ini.

***
Hujan masih terus bernyanyi. Melantunkan dendang musyafir lalu yang rindu tanah lahir.

Di atas ranjang pria itu menguap berkali-kali. Sejenak kemudian tangannya terulur, mematikan lampu baca, lalu menarik selimut hingga sebatas dada. Sebelum terlelap ia mengucapkan selamat malam pada cicak yang masih menatapnya dengan pandang mata tak berkedip.

Sementara aku masih bersandar pada dinding yang lembap seraya menahan napas, menikmati semua pemandangan indah yang tersaji di hadapanku.

Jujur. Sudah lama aku tidak mendengar suara 'orang' berkata-kata. Sejak aku tinggal di rumah tua tak berpenghuni itu. Rumah yang berada di pojokan kampung, tak jauh dari tempat indekos pria bernama Ibas ini.

Hei, ada apa denganku? Mengapa diam-diam aku mengagumi Ibas, mengamati keseluruhan penampilannya untuk meyakinkan jika ia memang pantas menyandang nama sebagus dan segagah itu?

Aih, Ibas. Memandangmu berlama-lama malah membuat dadaku berdebar-debar hebat.

Sayangnya, kokok ayam dari kejauhan terlanjur riuh bersahutan. Mengingatkan bahwa aku harus segera beranjak pulang. Tapi aku janji. Besok malam aku akan datang lagi ke rumah indekos ini. Bersama hujan deras yang berebut jatuh.

***
Kisah apa yang ingin kaujumpai di awal musim hujan seperti ini?

Kali ini aku menitipkan kalimat singkat itu pada sebarisan kabut yang perlahan meluruh.

Di luar langit sedang murung. Prediksiku, hujan badai sebentar lagi akan datang.

Sembari menunggu malam tiba, aku mulai berhias. Mempersiapkan diri untuk melunasi hutang janjiku bertemu dia. Pria muda bernama Ibas itu, di rumah kontrakannya.

Kusampirkan daster putih yang menjadi trademark-ku selama ini pada lengan kursi. Kupilih rok pendek warna hitam dan kemeja merah muda berhiaskan taburan batu Swarovski. Kukuncir rapi rambutku yang awut-awutan. Kubedaki wajahku tipis-tipis. Terakhir, kusapu bibir mungilku dengan gincu warna beige.

Sesudahnya aku mematut diri di depan cermin berlama-lama. Yup, sempurna sudah penampilanku!

Namun, kiranya cuaca tidak berjalan sesuai prediksiku. Hujan badai yang kutunggu nyatanya tidak kunjung datang.

Entah apa penyebabnya. Langit yang semula mendung mendadak berubah cerah. Bintang-bintang berebut menampakkan diri. Dan, dari kejauhan tampak Peri Bulan duduk bersandar pada lengkung bulan sabit. 

Aku menopang kedua lengan pada bingkai jendela tak berdaun. Di belakangku berdiri ayah, tangannya yang kokoh dan berbulu lebat menyentuh lembut pundakku.

"Tampaknya kau benar-benar jatuh cinta pada manusia bernama Ibas itu, Kun." Ayah membuka percakapan. Aku mengangguk kecil. 

"Kau ingin ayah melakukan sesuatu untukmu, Nak?" Ayah menurunkan tangannya perlahan dari pundakku.

"Tidak usah, Ayah. Untuk kali ini Ayah jangan melakukan tindakan apa-apa. Aku ingin menikmati perasaan mencintai ini dengan caraku sendiri."

Ya. Aku harus menegaskan kalimat itu kepada ayah. Sebab aku tahu bagaimana karakter makhluk yang telah mengukir jiwa ragaku itu. Ia sosok bertemperamen keras, grusa-grusu, tidak sabaran, juga berdarah dingin.

Soal berdarah dingin---asal tahu saja, sebagian besar kecelakaan yang terjadi di jalan tol adalah ulah brutal ayahku. Dengan beragam tipu muslihat tentunya.

"Terlambat, Kunti. Laki-laki bernama Ibas itu sudah meninggalkan kontrakannya. Ia harus pulang untuk menemui kedua orangtuanya. Sepertinya ia akan bertunangan. Dan, kupikir itu sangat mengecewakanmu, bukan? Itulah sebab ayah terpaksa..."

Tak perlu menunggu ayah menuntaskan kalimatnya. Kembali kuraih daster putih kesayanganku. Kukenakan ala kadarnya dan gegas melayang menggunakan kecepatan cahaya menuju jalan tol.

Sayang sekali aku terlambat. Di kilo meter kesekian mobil avanza putih yang meluncur kencang dari arah Malang-Pandaan itu tiba-tiba kehilangan keseimbangan. Salah satu bannya pecah. Mobil itu jungkir balik keluar dari bahu jalan. 

Kulihat seorang pria yang suka berbicara dengan cicak di dinding terpental keluar.

"Ayaaaah ... aku benci menjadi anakmu!!!"

Jeritan pilu itu sengaja kuteriakkan keras-keras. Kubiarkan menguar memecah kesunyian malam.

***
Malang, 1 Juli 2023
Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun