Sembari menunggu malam tiba, aku mulai berhias. Mempersiapkan diri untuk melunasi hutang janjiku bertemu dia. Pria muda bernama Ibas itu, di rumah kontrakannya.
Kusampirkan daster putih yang menjadi trademark-ku selama ini pada lengan kursi. Kupilih rok pendek warna hitam dan kemeja merah muda berhiaskan taburan batu Swarovski. Kukuncir rapi rambutku yang awut-awutan. Kubedaki wajahku tipis-tipis. Terakhir, kusapu bibir mungilku dengan gincu warna beige.
Sesudahnya aku mematut diri di depan cermin berlama-lama. Yup, sempurna sudah penampilanku!
Namun, kiranya cuaca tidak berjalan sesuai prediksiku. Hujan badai yang kutunggu nyatanya tidak kunjung datang.
Entah apa penyebabnya. Langit yang semula mendung mendadak berubah cerah. Bintang-bintang berebut menampakkan diri. Dan, dari kejauhan tampak Peri Bulan duduk bersandar pada lengkung bulan sabit.Â
Aku menopang kedua lengan pada bingkai jendela tak berdaun. Di belakangku berdiri ayah, tangannya yang kokoh dan berbulu lebat menyentuh lembut pundakku.
"Tampaknya kau benar-benar jatuh cinta pada manusia bernama Ibas itu, Kun." Ayah membuka percakapan. Aku mengangguk kecil.Â
"Kau ingin ayah melakukan sesuatu untukmu, Nak?" Ayah menurunkan tangannya perlahan dari pundakku.
"Tidak usah, Ayah. Untuk kali ini Ayah jangan melakukan tindakan apa-apa. Aku ingin menikmati perasaan mencintai ini dengan caraku sendiri."
Ya. Aku harus menegaskan kalimat itu kepada ayah. Sebab aku tahu bagaimana karakter makhluk yang telah mengukir jiwa ragaku itu. Ia sosok bertemperamen keras, grusa-grusu, tidak sabaran, juga berdarah dingin.
Soal berdarah dingin---asal tahu saja, sebagian besar kecelakaan yang terjadi di jalan tol adalah ulah brutal ayahku. Dengan beragam tipu muslihat tentunya.