Ya, lega. Ternyata dia---pria bernama Ibas itu tidak menyadari kehadiranku di dalam kamar berukuran sempit ini.
***
Hujan masih terus bernyanyi. Melantunkan dendang musyafir lalu yang rindu tanah lahir.
Di atas ranjang pria itu menguap berkali-kali. Sejenak kemudian tangannya terulur, mematikan lampu baca, lalu menarik selimut hingga sebatas dada. Sebelum terlelap ia mengucapkan selamat malam pada cicak yang masih menatapnya dengan pandang mata tak berkedip.
Sementara aku masih bersandar pada dinding yang lembap seraya menahan napas, menikmati semua pemandangan indah yang tersaji di hadapanku.
Jujur. Sudah lama aku tidak mendengar suara 'orang' berkata-kata. Sejak aku tinggal di rumah tua tak berpenghuni itu. Rumah yang berada di pojokan kampung, tak jauh dari tempat indekos pria bernama Ibas ini.
Hei, ada apa denganku? Mengapa diam-diam aku mengagumi Ibas, mengamati keseluruhan penampilannya untuk meyakinkan jika ia memang pantas menyandang nama sebagus dan segagah itu?
Aih, Ibas. Memandangmu berlama-lama malah membuat dadaku berdebar-debar hebat.
Sayangnya, kokok ayam dari kejauhan terlanjur riuh bersahutan. Mengingatkan bahwa aku harus segera beranjak pulang. Tapi aku janji. Besok malam aku akan datang lagi ke rumah indekos ini. Bersama hujan deras yang berebut jatuh.
***
Kisah apa yang ingin kaujumpai di awal musim hujan seperti ini?
Kali ini aku menitipkan kalimat singkat itu pada sebarisan kabut yang perlahan meluruh.
Di luar langit sedang murung. Prediksiku, hujan badai sebentar lagi akan datang.