Singkat cerita, saya menolak mentah-mentah perjodohan itu. Saya memberanikan diri bicara baik-baik dengan pria yang akan dijodohkan dengan saya, yang usianya juga terbilang masih muda. Saya katakan kepada pria itu jikalau saya masih ingin melanjutkan sekolah.
Beruntung pria itu mau mengerti.
Selanjutnya, saya, gadis berusia belasan tahun itu harus berjuang sendiri. Menyimpan mimpinya dalam-dalam. Salah satunya adalah mimpi untuk bisa bersekolah lagi seperti teman-teman sebayanya.
Bagaimana usaha si bocah agar bisa menyambung mata rantai pendidikan yang terputus?
Setelah berhasil melepaskan diri dari rencana pernikahan dini itu, saya harus bekerja. Menjadi buruh bungkus es lilin di rumah salah seorang tetangga yang memiliki toko kelontong. Saya harus merelakan satu tahun waktu terbuang, demi mengumpulkan rupiah agar bisa membiayai sekolah saya sendiri.
Sedikit demi sedikit tabungan pun terkumpul. Satu tahun kemudian, ketika tahun ajaran baru, saya bisa mendaftar ke SLTP.
Alhamdulillah.
Dan, di hari itu, di hari pertama saya masuk sekolah tak terasa air mata ini berlinang.
"Tuhan... Akhirnya bisa juga seragam biru putih itu kukenakan."
***